Penulis: Sri Wahyuni Nurdin

Pada era globalisasi, soft power telah menjadi salah satu instrument penting bagi negara-negara untuk mempengaruhi dan membangun hubungan dengan negara maupun komunitas internasional. Konsep soft power, yang di perkenalkan oleh ilmuwan politik Joseph Nye pada akhir 1980-an, mengacu pada kemampuan sebuah negara untuk menarik dan membujuk pihak lain melalui daya taruk budaya, nilai-nilai, dan kebijakan yang menarik, tanpa menggunakan kekuatan militer atau ekonomi (Nye, 2004). Dengan kata lain, soft power berfokus pada kemampuan sebuah negara untuk membentuk preferensi dan persepsi melalui daya tarik yang tidak memaksa. Dalam konteks ini, China telah memanfaatkan soft power melalui berbagai inisiatif, salah satunya adalah Institut Konfusius.

Soft Power berfokus pada bagaimana sebuah negara dapat memikat dan membujuk negara atau orang lain untuk menginginkan apa yang diinginkannya melalui ketertarikan dan legitimasi. Ini mencakup tiga pilar utama dalam soft power yaitu; budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri. Budaya ini mencakup segala bentuk seni, music, film, dan literatur yang dapat menimbulkan kekaguman dan daya tarik di mata internasional. (Portland, n.d.). Nilai-nilai politik, seperti demokraso, hak asasi manusia, dan supremasi hukum, dapat meningkatkan reputasi dan pengaruh jika negara tersebut dipandang sebagai pelindung dan promotor nilai-nilai tersebut. Kebijakan luar negeri yang bersifat kooperatif dan konstruktif juga berperan besar dalam memperkuat soft power, misalnya melalui bantuan kemanusiaan, kerjasama multilateral, dan inisiatif diplomasi budaya (Brand Finance, 2020).

China, sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tercepat di dunia, telah dengan cerdik mengadopsi strategi soft power untuk memperkuat posisinya di kancah internasional. Salah satu inisiatif utama yang ilakukan oleh China adalah melalui pembentukan Institut Konfusius. Didirikan pada tahun 2004, Institut Konfusius bertujuan untuk mempromosikan bahasa dan budaya China serta memperkuat hubungan internasional melalui pendidikan dan pertukaran budaya (Gil, 2017). Melalui pengajaran bahasa Mandarin, penyelenggaraan berbagai kegiatan budaya, dan kolaborasi dengan lembaga pendidikan lokal, Institut Konfusius bertujuan untuk menanamkan apresiasi terhadap budaya China dan memperkuat hubungan bilateral dengan negara tuan rumah. Hingga kini, institute ini telah membuka lebih dari 500 cabang di berbagai negara, menjadikannta salah satu instrument soft power paling efektif yang digunakan oleh China (Paradise, 2009).

Selain China, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan juga telah berhasil meningkatkan soft power mereka melalui budaya pop. Fenomena seperti anime, manga, J-Pop dan K-Pop, serta drama Korea dai Korea Selatan, telah menimbulkan gelombang ketertarikan global yang besar terhadap budaya dan produk-produk dari kedua negara tersebut. Hal ini meningkatkan citra negara mereka, tetapi juga mendorong pariwisata dan ekspor budaya. Namun, soft power tidak hanya memiliki sisi positif, terdapat beberapa tantangan dan kritik terkait penggunaannya. Ketergantungan pada soft power memerlukan waktu dan hasilnya seringkali tidak langsung terlihat. Selain itu, jika tidak propaganda atau intervensi budaya yang dapat menimbulkan resistensi dan ketidakpercayaan dari negara lain.

Institut Konfusius adalah lembaga pendidikan nirlaba yang didirikan oleh pemerintah China dengan tujuan mempromosikan bahasa dan budaya China di seluruh dunia. Didirikan pada tahun 2004, institute ini mengambil nama dari Konfusius, seorang filsuf dan guru besar China yang hidup pada abad ke-6 SM dan terkenal ajarannya yang menekankan moralitas, krluarga, dan pendidikan. Tujuan utama dari Institut Konfusius adalah untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap bahasa dan budaya China melalui pengajaran bahasa Mandarin serta berbagai kegiatan budaya. Sejak pendiriannya, Institut Konfusius telah berkembang pesat dengan membuka lebih dari 500 cabang di berbagai negara di seluruh dunia. Cabang-cabang ini bekerja sama dengan univrsitas dan institusi lokal untuk menyediakan pendidikan bahasa dan budaya China yang berkualitas. Selain kursus bahasa, banyak cabang Institut Konfusius yang juga menawarkan program pelatih guru, sumber daya pendidikan, dan tes kecakapan bahasa Mandarin seperti HSK (Hanyu Shuiping Kaoshi) (Hartig, 2016).

Pengajaran bahasa Mandarin merupakan salah satu elemen utama dalam strategi soft power China melalui Institut Konfusius. Dengan menyediakan kursus bahasa Mandarin kepada pelajar, professional, dan masyarakat umum, China berharap dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan bahasa yang pada akhirnya memperdalam pemahaman dan keterampilan bahasa yang pada akhirnya memperdalam hubungan budaya dan ekonomi antara China dan negara tuan rumah. Selain itu, kegiatan-kegiatan budaya yang diadakan oleh Institut Konfusius, seperti pameran seni, pertunjukan tari dan music tradisonal, serta seminar tentang sejarah dan filosofi China, berfungsi untuk memperkenalkan dan mempromosikan aspek-aspek positif dari budaya China.

Disamping menyebarkan budaya, Institut Konfusius juga berperan dalam pembentukan identitas nasional China di kancah global. Melalui berbagai program dan kegiatan, China berusaha membentuk citra sebagai negara yang kaya akan budaya dan sesjarah serta berperan aktif dalam hubungan internasional. Institut Konfusius menjadi alat diplomasi budaya yang efektif bagi China, memperkuat hubungan diplomatik dengan negara lain, dan memperbaiki citra globalnya. Melalui pendekatan soft power, China dapat mempengaruhi persepsi global tentang identitas nasionalnya, mengikis stereotype negatif, dan memperkuat posisinya di panggung internasional.

Penyebaran program Institut Konfusius di negara-negara dan kampus-kampus mitra memiliki dampak yang beragam. Salah satu dampak utama adalah peningkatan pemahaman dan apresiasi terhadap budaya China. Melalui kursus bahasa Mandarin yang disediakan oleh Institut Konfusius, banyak pelajar dan profesional di berbagai negara mendapatkan kesempatan untuk mempelajari bahasa tersebut secara lebih mendalam (CNN Indonesia, 2022). Namun, disisi lain, pihak berwenag China memperjelas tujuan mereka ketika mereka meluncurkan dan memperluas Institut Konfusius dan menjalankan upaya propaganda berskala besar. Misalnya, menteri publisitas China saat itu, Liu Yunshan, menyatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar People’s Daily pada tahun 2010 bahwa propaganda luar negeri China haru komprehensif, berjenjang,dan luas.” (INDO-PASIFIC DEFENSE FORUM, 2019). Penguasaan bahasa Mandarin membuka peluang baru dalam dunia akademis dan profesional, mengingat posisi China sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Selain itu, kegiatan budaya seperti pameran seni, pertunjukan musik, dan festival tradisional yang di selenggarakan oleh institute ini turut memperkenalkan trsadisi dan nilai-nilai budaya China kepada komunitas  Internasional, sehingga memperkaya wawasan dan pengalaman budaya masyarakat setempat.

Penyebaran program Institut Konfusius di negara-negara dan kampus mitra juga memiliki dampak yang negatif. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi penggunaan institute ini sebagai alat propaganda oleh pemerintah China. Beberapa pihak menuduh bahwa Institut Konfusius digunakan untuk menyebarkan ideologi politik China dan mengontrol narasi tentang China di luar negeri. Tuduhan ini didasarkan pada anggapan bahwa institute ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran bahasa dan budaya, tetapi juga sebagai alat propaganda yang menyampaikan pandangan politik pemerintah China. Dalam praktiknya, ini dapat berarti bahwa Institut Konfusius merupakan aspek-aspek tertentu dari sejarah dan budaya China yang menguntungkan pemerintah, sambil menghindarai atau meminimalkan diskusi tentang isu-isu kontraversial (Aulia, 2020). Ada laporan mengenai tekanan untuk tidak membahas isu-isu sensitif seperti Tibet, Taiwan, dan hak asasi manusia, serta gerakan pro-demokrasi di Hong Kong yang dapat menciptakan lingkungan akademis yang tidak bebas dan terbatas. Se;ain itu, keterlibatan langsung pemerintah China dalam pendanaan dan pengeloalaan institute ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi institutsi pendidikan yang bermitra (INDO-PASIFIC DEFENSE FORUM, 2019). Krtitik ini telah menyebabkan beberapa universitas di negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, dan Kanada menutup cabang Institut Konfusius mereka (Flatley, 2023). Kekhawatiran tentang kontrol dan pengaruh politik ini menggarisbawahi tantanganyang dihadapi dalam menjaga kebebasan akademis dan independensi lembaga pendidika di tengah upaya memperluas program lintas budaya. Dampak negatif ini menunjukkan perlunya evaluaasi kritis dan transparansi dalam kemitraan dengan Institut Konfusius untuk memastikan bahwa tujuan pendidikan dan akademis tetap menjadi prioritas utama. Kritik terhadap Institut Konfusius berpusat pada kekhawatiran bahwa Institut ini digunakan sebagai alat propaganda untuk menyebarkan ideologi politik China dan mengontrol narasi global tentang China. Tuduhan bahwa kebebasan akademis di kampus-kampus mitra dapat terancam, sengan pembatasan diskusi mengenai isu-isu sensitif seperti hak asasi manusia dan status Taiwan, memerlukan perhatian serius. Untuk mengatasi masalah ini, transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan dalam kerjasama dengan Instiut Konfusius. Kampus-kampus mitra harus memastikan bahwa mereka memiliki kendali penuh atas kurikulum dan acara akedemis mereka, tanpa tekanan eksternal. Selain itu, evaluasi berkala dan independen terhadap program-program yang dijalankan bersama Institut Konfusius dapat membantu memastikan bahwa prinsip-prinsipi kebabsan akademis dan integritas pendidikan tetap terjaga. Dengan demikian, manfaat dari program ini dapat dimaksimalkan tanpa mengrobankan nilai-nilai inti dari pendidikan dan kebebasan akademis.

Daftar Pustaka

Aulia. (2020, Agustus 14). Institut Konfusius Dicurigai Sebarkan Propaganda China. Retrieved from Kompas.id Internasional: https://www.kompas.id/baca/internasional/2020/08/14/institut-konfusius-dicurigai-sebarkan-propaganda-china/

Brand Finance. (2020, February 25). Soft Power: Why it Matters to Governments, People, and Brands. Retrieved from Brand Finance: https://brandfinance.com/insights/soft-power-why-it-matters

CNN Indonesia. (2022, Juli 25). Institut Konfusius China Dicap Bahaya di Inggris, Apa Ajarannya? Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220725092910-134-825625/institut-konfusius-china-dicap-bahaya-di-inggris-apa-ajarannya

Flatley, L. (2023, November 4). Hubungan AS-China Memburuk, Mayoritas Institut Konfusius Ditutup. Retrieved from Bloomberg Technoz: https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/19883/hubungan-as-china-memburuk-mayoritas-institut-konfusius-ditutup

Gil. (2017). Soft Power and the Worldwide Promotion of Chinese Language Learning: The Confusius Institute Project. Bristol: Multilingual Matters.

Hartig. (2016). The Rise of the Confusius Institute. In Hartig, Chinese Public Diplomacy (pp. 1-10). New York: Routledge Taylor & Francis Group.

INDO-PASIFIC DEFENSE FORUM. (2019, November 11). Proliferator Propaganda. Retrieved from Institut Konfusius Institut Konfusius, di Bawah Perlindungan Pemerintah Tiongkok, Menyusup ke Berbagai Negara di seluruh Dunia Dengan Cara Yang Semakin Berbahaya dan Angkuh: https://ipdefenseforum.com/id/2019/11/proliferator-propaganda/

Nye. (2004). Soft Powe : The Means To Success In World Politics. New York: PublicAffairs.

Paradise. (2009). The Role of Confusius Institutes in Bolstering Beijing’s Soft Power. ASIAN SURVEY, 648-649. Portland. (n.d.). What is Soft Power? Retrieved from The Soft Power 30: https://softpower30.com/what-is-soft-power/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *