Rentetan Nasib di Belahan Bumi Selatan

Alfreda Surya Aidina

Latar Belakang

Nasib sial bagi mereka yang lahir di belahan bumi selatan atau “Global South” yang menjadi istilahnya di berbagai disiplin ilmu hari ini. Fenomenanya saat ini adalah bagaimana nasib-nasib orang tersebut lahir dalam ketimpangan (baik itu secara ekonomi dan pengetahuan) . Dari konstruksi dan eksploitasi oleh belahan bumi Utara (Global North) terhadap belahan bumi Selatan (Global South), mereka harus mengalami rentetan nasib sial tersebut. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, kemudian kita membedah term dari Global South.

Istilah pembagian wilayah utara dan selatan dan mengaitkannya kepada ketimpangan ekonomi adalah pertama kali dicetuskan oleh pemikir Marxis yaitu Antonio Gramsci. Menurut (Gramsci, 1978, 442-457) keadaan Italia terpecah menjadi dua bagian antara kapitalis Utara dan proletariat Selatan yang saling berhubungan dalam keadaan ekonomi yang timpang, dari gambaran tersebut ciri wilayah Utara Italia adalah wilayah Industri yang maju dan wilayah selatan Italia sebagai wilayah agraris yang tertinggal. Dengan keadaan Italia dimana ketergantungan antara petani Selatan yang menyediakan bahan mentah kepada industrialis Utara kemudian menjadi ciri umum yang menjadi penggambaran Global North dan Global South.

Terminologi Global South muncul untuk menjelaskan negara-negara yang kurang maju. Pada awalnya pasca perang dingin gerakan Zapatista di Meksiko mengupayakan perubahan terhadap pola kemiskinan, hak-hak dan pembangunan di dunia global yang begitu terpolarisasi antara Utara dan Selatan (Dados & Connell, 2012, 12-13). Penggunaan istilah Global South tidak untuk menggambarkan belahan bumi Selatan secara geografis, dikarenakan tidak semua di kawasan tersebut tertinggal1, tetapi lebih kepada negara yang mempunyai peninggalan jejak Imperialisme dan Kolonialisme. Perspektif dari pemikir Konstruktivisme dalam Ilmu Hubungan Internasional menjelaskan bahwa pembentukan identitas dan kepentingan (Wendt, 1999) khususnya term dari Global South merupakan proses sosial yang kemudian membentuk pemahaman yang intersubjektif atau kesepakatan yang diterima oleh orang banyak (Agussalim, 2019). Selanjutnya, hal ini bisa dilihat dari penggunaan istilah negara-negara dunia pertama dan istilah negara-negara dunia ketiga banyak digunakan selama perang dingin, kemudian argumentasi umum yang muncul adalah negara-negara dunia ketiga yang baru mengalami dekolonisasi adalah negara yang tertinggal. Perkembangan berikutnya adalah penggunaan istilah negara berkembang dan negara maju untuk menggambarkan pola pembangunan, pola regulasi ekonomi dan pola kemiskinan. Semua pola tersebut menghubungkan pada adanya ketergantungan yang jelas antara negara ‘miskin’ dan negara ‘kaya’. 

Kemiskinan, peperangan, pengangguran, migrasi keluar menggambarkan negara-negara belahan bumi selatan. Pengungsi dari Global South menyumbangkan 80 persen jumlah pengungsi dari seluruh dunia, kemudian akuisisi tanah asing berskala besar oleh IMF dan World Bank banyak terjadi di Global South yang menyebabkan munculnya rezim hutang di kawasan tersebut (Sassen, 2014). Kemudian, konsentrasi modal yang ekstrim hanya berada di belahan bumi Utara, karena pada faktanya jika seratus milyuner yang dominan berasal dari Global North bisa menumpaskan empat kali kemiskinan di seluruh dunia pada tahun 20122. Ketimpangan yang mengerikan ini. tentu mendapatkan perlawanan dari masyarakat di belahan bumi selatan dan oleh pemikir Marxis dan poskolonial yang getol menghadapi ketergantungan antara Bumi Utara yang menghisap sumberdaya Bumi Selatan.

Kerangka tulisan ini akan dijelaskan dengan munculnya perlawanan negara-negara yang dikelompokkan sebagai negara ‘kurang maju’ pada era perang dingin. Kemudian tulisan akan beranjak pada janji-janji manis dari neoliberalisme terhadap keselamatan ekonomi negara-negara belahan bumi selatan. Selanjutnya, menjelaskan perlawanan masyarakat akar rumput di belahan bumi selatan. Terakhir, penulis akan menjelaskan kondisi Global South hari ini dan dampaknya terhadap Indonesia, juga disertai harapan penulis terhadap nasib Global South.

Pembahasan

  1. Negara Pascakolonial Menggugat

Berakhirnya perang dunia kedua, memunculkan dua negara raksasa baik itu dari segi militer, budaya dan ekonomi-politik yang berhasil mengalahkan fasisme blok Poros yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pasca perang dunia kedua banyak negara jajahan menjadi merdeka melalui pantikan dari gerakan-gerakan kemerdekaan. Hal ini memunculkan kemerdekaan bagi negara-negara tertindas di Asia-Afrika.

Negara-negara yang baru merdeka tersebut dihadapkan oleh dua pilihan pada sewaktu itu yakni liberal-kapitalis atau sosialis-komunis. Berkesesuaian dengan pidato Soekarno di PBB ke 15 yang berjudul “To Build The World Anew” dia mengatakan dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan oleh Kepustakaan Nasional RI sebagai berikut :

“Ahli filsafah Inggeris Bertrand Russell yang ulung itulah yang pemah berkata bahwa ummat manusia sekarang terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of American Independece dari Thomas Jefferson. Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis. Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu.”3

Perlawanan negara-negara yang baru merdeka adalah usaha untuk melawan dominasi kedua negara besar tersebut. Tetapi diskursus atau wacana umum terhadap negara-negara berkembang tersebut adalah kekurangan terhadap modal dalam melakukan pembangunan sehingga terhambat dalam memajukan dan mensejahterakan warganya (Riadi, 2020). Hal ini menjadi fenomena sehingga banyak dari negara-negara tersebut pada akhirnya menggantungkan modal maupun model pembangunannya yang bercermin kepada Amerika Serikat ataupun Uni Soviet4

Tetapi dualisme antara Uni Soviet dan Amerika Serikat berakhir dengan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991. Hal inilah yang kemudian menggeser pemaknaan negara-negara dunia pertama atau negara-negara dunia ketiga menjadi negara dunia Utara dan negara dunia Selatan. Sebelumnya, menurut Soekarno kita dipaksakan kepada dua pilihan kini pada akhirnya kita dihadapkan pada satu pilihan yaitu Demokratisasi dan Kapitalisme yang kemudian menjelma menjadi neoliberalisasi (Connell & Dados, 2014).

  1. Neoliberalisme dan Janji Manis terhadap Global South

Neoliberalisme pertama kali dicetuskan oleh Friedrich Von Hayek dan pemikiran Von Hayek didukung oleh think tank yang bernama Mont Pelerin Society.  Menurut (Hayek, 2001, 64) penguasaan negara terhadap sistem ekonomi atau sekedar mendominasi akan menyebabkan penguasaan terhadap seluruh sektor sosial manusia. Secara lebih lanjut, mereka yang tergabung dalam Mont Pelerin Society adalah mereka yang berusaha mempromosikan kebebasan individu di segala ranah aspek dan menghalau paham kolektivisme dari Uni Soviet dan Nazi Jerman yang berkembang sewaktu itu (Jones, 2012).

Dukungan terhadap neoliberalisasi semakin menguat di tahun 1980-an yang diadvokasikan langsung oleh Mont Pelerin Society kepada Margaret Thatcher (PM Britania Raya), Ronald Reagan (Presiden AS) dan Augusto Pinochet (Diktator Chile)5.  Ide-ide soal neoliberalisme dijalankan dengan ide liberalisasi ekonomi, pengurangan pengeluaran negara di sektor publik, promosi sektor swasta dan membentuk iklim investasi yang bebas (Harvey, 2007). Tetapi apakah kehendak bebas pasar yang mempunyai maksud untuk ‘menghalau totalitarianisme, menghancurkan masyarakat kolektivis dan mempromosikan kebebasan total individu’ bisa menjadi alat pembebasan bagi nasib sial Global South?

Dampaknya bagi Global South justru terjadinya penurunan pendapatan dari hasil agrikultur dan berdampak pada dunia dengan rerata dari 6,5 % pada tahun 1980 menjadi 2,8 % pada tahun 20106. Ini berjalan lurus dengan disahkannya TRIPs (Trade Related on Intellectual Property Rights) telah memberi legitimasi dalam hukum untuk melakukan eksploitasi terhadap kaum tani di Amerika Latin (IndoProgress, 2006). Bangkitnya organisasi Internasional yang membawa agenda neolib telah memberi dampak sial bagi rakyat kecil di Global South.

Padahal dalam asumsi para pemikir yang tergabung dalam Mont Pelerin Society berusaha menjadi garda terdepan dalam membela liberalisme (Turner, 2007). Menurutnya, ekonomi Keynesian7 menghasilkan masyarakat yang berwatakTotaliter, ini berjalan lurus dengan negara-negara Global South yang dipimpin oleh kediktatoran bisa dihabisi dengan penerapan neoliberalisme. Kemenangan Amerika Serikat dalam perang dingin memastikan jalan mulus neoliberalisme. Dia menjadi janji manis untuk meredam krisis ekonomi di Turki dan Meksiko pada tahun 1994 dan krisis finansial Asia 1997 (Öniş & Güven, 2011)

  1. Suara Tertindas di Belahan Bumi Selatan

Perlawanan secara umum di Global South terkonsentrasi pada masyarakat adat, perempuan dan petani yang secara lantang menentang ketidakadilan dan ketidaksetaraan akibat dari neoliberalisme (Motta & Nilsen, 2011). Gerakan Zapatista menjadi bunyi perlawanan pertama dalam menghadapi neoliberalisasi melalui gerakan sosial pasca perang dingin, Proyek neoliberalisasi menurut Harvey adalah gerakan untuk merestorasi kekuatan modal. Ini menjadi perhatian utama dari gerakan Zapatista yang berusaha melawan perjanjian NAFTA yang menjadi perpanjangan tangan dari eksploitasi modal ala neolib.

Gerakan-gerakan di Global South pada awalnya untuk mengadvokasikan kemerdekaan dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Kemudian, gerakan itu kemudian membentuk wadah pemikiran anti-imperialisme dan anti kolonialisme yang tergabung dalam gerakan Pan-Afrika, Pan-Arab dan Pan-Asia (Grovogu, 2011). Tetapi dengan masuknya neoliberalisme perlawanan kemudian menjadi melawan rezim modal yang menindas orang-orang kecil di Global South..

Pertama, bangkitnya suara perlawanan di belahan bumi selatan dikarenakan adanya kelas elit yang tidak mengakomodasi suara mayoritas. Kedua, gagalnya model pembangunan ekonomi di negara-negara selatan. Ketiga, runtuhnya Soviet sebagai imperium ekonomi yang melawan kapitalisme menyebabkan intervensi dari paham neoliberalisme masuk8. Contoh ada beberapa negara yang masyarakatnya menyuarakan penindasan terhadap neoliberalisasi seperti di India, Tanzania, Brazil dan Zimbabwe (“Social Movements in the Global South,” 2018). 

Pada akhirnya semua perlawanan tersebut melawan kepemilikan modal asing, pengambilalihan tanah secara paksa, advokasi terhadap hak atas kota dan hak jaminan sosial. Kemudian neoliberalisme menjadi fenomena umum di Asia Tenggara pasca krisis finansial Asia di tahun 1997 (Springer, 2017). Bangkitnya perlawanan masyarakat madani di Vietnam dan Kamboja menjadi contoh perlawanan, dan hal ini tidak hanya disebabkan oleh otoritarianisme yang mengakar di negara tersebut tetapi juga dikarenakan mengenai proyek pembangunan pembangkit tenaga air juga isu perempuan di kedua negara tersebut (Anugrah, 2014). Terus bagaimana istilah Global South di Indonesia menjadi dampak, kemudian bagaimana proyek neoliberalisasi di Indonesia membawa dampak baik bagi negara tersebut?

  1. Studi Kasus : Indonesia

Dibawah rezim Soekarno, Indonesia berani dengan lantang mengatakan bahwa negara-negara baru merdeka punya pilihan9 selain daripada Amerika Serikat ataupun Uni Soviet. Tetapi, pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto dari Soekarno melalui Supersemar dan dibubarkannya PKI menjadi wajah baru dari Indonesia. Otoritarianisme dan Kapitalisme menjadi senjata utama Soeharto dalam membangun Indonesia (Chua, 2009).

Indonesia sendiri masuk dalam kategori sebagai negara Global South. Pada tahun 2010, Indonesia mempunyai 19 juta penduduk miskin dan menjadi bagian dari 40 persen dari jumlah penduduk (Barrientos et al., 2010). Juga program-program sosial di Indonesia semasa Orde Baru kebanyakan diterima oleh orang-orang yang mempunyai pendapatan yang cukup dan tidak tepat sasaran, ini juga yang akan membawa pada dampak yang cukup kuat sehingga rezim Soeharto dijatuhkan10. Namun, apakah neoliberalisasi yang membawa agenda memotong pendapatan di bidang publik membawa perubahan lebih baik?

Dampak dari krisis finansial Asia tahun 1997 adalah terbentuknya Grup 20 negara (G-20), dikarenakan usaha multilateral negara-negara diperlukan untuk pemulihan negara yang pada akhirnya krisis ekonomi di suatu negara akan berdampak pada negara lainnya (Maclean’s, 2010). Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak dari krisis finansial tersebut, kemudian bergabung ke dalam G-20. Kemudian Amerika Serikat mengambil peran sebagai negara yang mempunyai tanggung jawab untuk ekonomi dunia agar terus berkembang (Bond & Garcia, 2015).

Akibat dari G-20, Indonesia mengambil kebijakan yang berorientasi pada pasar atau secara tidak langsung mengalami neoliberalisasi (Al-Fadhat, 2022). Untuk melancarkan agendanya, dibawah pemerintahan Jokowi maka dilaksanakanlah pengesahan UU Cipta Kerja. Dalam kebijakan tersebut memperlemah peran serikat buruh, diturunkannya standar upah dan mencederai hak-hak sipil masyarakat. Pada akhirnya, UU Cipta Kerja ditentang habis-habisan oleh masyarakat dan otoritarianisme negara masih melekat dan pemerintah mendapatkan setidaknya 1500 aduan kekerasan aparat (Kompas, 2020).

Perlawanan masyarakat di Indonesia terdapat Konsorsium Pembaruan Agraria yang mengadvokasikan reformasi agraria yang adil dan merata. Dalam catatannya, melalui (Barahamin, 2016) pasca krisis ekonomi global di tahun 2008, telah terjadi perampasan lahan secara besar-besaran. Rezim infrastruktur Jokowi telah memberi jalanan mulus bagi negara-negara kaya untuk terus mengeksploitasi Indonesia dengan membuka tol laut, bandara dan jalur kereta api. Yang mesti dipahami adalah semua paket infrastruktur itu dibarengi dengan deregulasi terhadap upah buruh dan adanya suatu rencana besar untuk investasi besar-besaran di sektor kebun, energi dan pangan.

Penutup

Pada perkembangan sejarah, Global South merupakan istilah yang dikonstruksi untuk membedakan negara si kaya yaitu negara-negara utara dan si miskin yaitu negara-negara selatan. Nasib orang-orang di belahan bumi selatan menjadi rentetan perlawanan dalam mengangkat derajat dan hak atas kepemilikan ekonominya. Rentetannya semula berawal dari perlawanan para pemimpin-pemimpin di negara Global South dalam mengadvokasikan posisi negaranya agar tidak terjebak oleh dualisme Soviet dan Amerika.

Global South harus dipahami sebagai kontradiksi dari Imperialisme dan Kolonialisme Barat di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Rentetan nasib di belahan bumi selatan, pada awalnya adalah gerakan-gerakan kemerdekaan. Selanjutnya, menghadapi langsung paham neoliberalisme. Pada akhirnya, rentetan nasib manusia tertindas di belahan bumi selatan bukan lagi melawan negara imperialis dan kolonialis asing, tetapi melawan rezim domestik yang menjebak mereka ke dalam neraka neoliberalisme.

Catatan Kaki

  1. Misalnya Australia dan Selandia Baru
  2. Ibid hal. 13
  3. Soekarno. (1960, September 30). Membangun Dunia Kembali (To Build The World a New): Pidato Presiden Republik Indonesia di muka Sidang Umum P B.B. ke-XV tanggal 30 September 1960. Dalam Skrip Pidato. Arsip Nasional Republik Indonesia. Diakses pada Desember 12, 2022, dari https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/speech/?box=detail&id=41&from_box=list_245&hlm=1&search_tag=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=1&presiden=sukarno
  4. Hal ini bisa dilihat dari kasus Indonesia sewaktu pada era Perang Dingin yang pada akhirnya menjadi condong pada Uni Soviet di zaman Demokrasi Terpimpin, kemudian dibawah Soeharto dia membawa Indonesia kedalam model dan modal pembangunan negara pada Amerika Serikat dan Jepang. Lihat kasus Malari dan UU Penanaman Modal Asing.
  5. Ibid hal.191
  6. Ini akibat dampak dari restrukturisasi oleh IMF dan berjalan lurus dengan agenda neoliberalisasi di tahun 1980-an lihat di (Connell & Dados, 2014)
  7. Model ekonomi Keynesian merupakan ekonomi kesejahteraan dan berusaha mengawinkan konsep pasar bebas dengan kesejahteraan sosial
  8. Ibid hal. 88 di dalam (Motta & Nilsen, 2011)
  9. Pilihan bagi negara “dunia ketiga” sewaktu itu adalah bergabung dalam Gerakan Non-Blok yang diinisiasi oleh Soekarno dan beberapa pemimpin dunia ketiga lainnya. Dan ini merupakan pilihan alternatif dibanding condong ke AS dan Uni Soviet.
  10. Ibid hal. 115

Daftar Pustaka

Agussalim, D. (2019). Contending Images of World Politics: Penelusuran kritis terhadap Asal-usul Dan Perdebatan Mengenai Konsep ‘developing countries’. Jurnal Hubungan Internasional, 8(1), 97-112. https://doi.org/10.18196/hi.81148

Al-Fadhat, F. (2022, April 29). Indonesia’s G20 presidency: neoliberal policy and authoritarian tendencies. Australian Journal of International Affairs, 76(6), 617-623. https://doi.org/10.1080/10357718.2022.2070598

Anugrah, I. (2014, August). Social Movements in Southeast Asia and Latin America. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 33(2), 125-137. https://doi.org/10.1177/186810341403300205

Barahamin, A. (2016, February 22). Perang Tanah: Wajah Baru Neoliberalisme di Sektor Pangan dan Energi. IndoPROGRESS. Retrieved December 13, 2022, from https://indoprogress.com/2016/02/perang-tanah-wajah-baru-neoliberalisme-di-sektor-pangan-dan-energi/

Barrientos, A., Hanlon, J., & Hulme, D. (2010). Just Give Money to the Poor: The Development Revolution from the Global South (J. Hanlon, D. Hulme, & A. Barrientos, Eds.). Kumarian Press.

Bond, P., & Garcia, A. (Eds.). (2015). BRICS: An Anti-capitalist Critique. Pluto Press.

Chua, C. (2009). Capitalist consolidation, consolidated capitalists: Indonesia’s conglomerates between authoritarianism and democracy. In A. Ufen & M. Bunte (Eds.), Democratization in Post-Suharto Indonesia. Taylor & Francis.

Connell, R., & Dados, N. (2014, March). Where in the world does neoliberalism come from? The market agenda in southern perspective. Theory and Society: Renewal and Critique inSocialTheory, 43(2), 117-138. https://doi.org/10.1007/s11186-014-9212-9

Dados, N., & Connell, R. (2012). The global south. Contexts, 11(1), 12-13. https://doi.org/10.1177/1536504212436479

Gramsci, A. (1978). Selections from political writings (1921–1926) : Some aspects of the southern question. Lawrence and Wishart, 441-462. https://cpb-us-east-1-juc1ugur1qwqqqo4.stackpathdns.com/blogs.uoregon.edu/dist/f/6855/files/2014/03/gramsci-southern-question1926-2jf8c5x.pdf

Grovogu, S. (2011, Spring). A Revolution Nonetheless: The Global South in International Relations. The Global South, 5(1), 175-190. https://doi.org/10.2979/globalsouth.5.1.175

Harvey, D. (2007). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.

Hayek, F. A. (2001). The Road to Serfdom (F. A. Hayek, Ed.). Routledge.

IndoProgress. (2006, February 21). Dunia Ini Bukan Untuk Dijual! – IndoPROGRESS. IndoPROGRESS. Retrieved December 12, 2022, from https://indoprogress.com/2006/02/dunia-ini-bukan-untuk-dijual/

Jones, D. S. (2012). Masters of the Universe: Hayek, Friedman, and the Birth of Neoliberal Politics. Princeton University Press.

Kompas. (2020, October 9). KontraS Terima 1.500 Aduan Kekerasan Aparat Selama Demo Tolak UU Cipta Kerja Halaman all – Kompas.com. Kompas Megapolitan. Retrieved December 13, 2022, from https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/09/14024141/kontras-terima-1500-aduan-kekerasan-aparat-selama-demo-tolak-uu-cipta?page=all

Maclean’s. (2010, July 1). Who gets to rule the world. Macleans.ca. Retrieved December 13, 2022, from https://www.macleans.ca/news/canada/who-gets-to-rule-the-world/

Motta, S., & Nilsen, A. G. (Eds.). (2011). Social Movements in the Global South: Dispossession, Development and Resistance. Palgrave Macmillan.

Öniş, Z., & Güven, A. B. (2011, Winter). The Global Economic Crisis and the Future of Neoliberal Globalization: Rupture Versus Continuity. Global Governance, 17(4), 469-488. https://www.jstor.org/stable/23104287?read-now=1&seq=3#page_scan_tab_contents

Riadi, B. (2020, July 13). Menggugat Hegemoni Demokrasi: Disciplinary Power Demokrasi di Negara Dunia Ketiga. Politeia: Jurnal Ilmu Politik, 12(2), 80-96. https://doi.org/10.32734/politeia.v12i2.3695

Sassen, S. (2014). Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy. Harvard University Press.

Social Movements in the Global South. (2018, August). Agrarian South: Journal of Political Economy, 7(2), 7-12. https://doi.org/10.1177/2277976018782833

Soekarno. (1960, September 30). Membangun Dunia Kembali (To Build The World a New):: Pidato Presiden Republik Indonesia di muka Sidang Umum P B.B. ke-XV tanggal 30 September 1960. In Speech Script. Arsip Nasional Republik Indonesia. Retrieved December 12, 2022, from https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/speech/?box=detail&id=41&from_box=list_245&hlm=1&search_tag=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=1&presiden=sukarno

Springer, S. (2017). Neoliberalism in Southeast Asia. In L. Law, A. McGregor, & F. Miller (Eds.), Routledge Handbook of Southeast Asian Development. Taylor & Francis Group.

Turner, R. S. (2007, February 4). The ‘rebirth of liberalism’: The origins of neo-liberal ideology. Journal of Political Ideologies, 12(1), 67-83. https://doi.org/10.1080/13569310601095614

Wendt, A. (1999). Social Theory of International Politics (S. Smith, Ed.). Cambridge University Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *