A. Berangkat dari mana?
Terciptanya Indonesia yang sejahtera secara umum untuk melindungi segenap bangsa Indonesia adalah cita-cita luhur yang dijelaskan secara implisit dalam pembukaan UUD 1945. Kelahiran Indonesia sebagai suatu negara yang baru tidak lepas dari semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda yang berwatak Imperialisme dan Kolonialisme. Tentu dengan pembacaan tersebut, dapat diasumsikan dengan cita-cita bangsa Indonesia dan 77 tahun sejak Indonesia merdeka, harusnya perkembangan kehidupan berbangsa hari ini semakin lebih progresif dan semakin lebih maju dalam merumuskan dan mengimplentasikan kesejahteraan masyarakat Indonesia hari ini.
Namun, tak ubahnya hari ini, perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang dibuka pada tanggal 20 Oktober 2019 dengan pidato Presiden Jokowi soal penciptaan lapangan kerja kemudian bergulir menjadi RUU Cilaka (Cipta “Lapangan” Kerja”. Memasuki tahun 2020, RUU “Cilaka” yang kemudian berubah menjadi RUU Ciptaker mendapat protes massal dari berbagai elemen masyarakat dan pernyataan Mahfud MD : “Soal Omnibus Law, protes sana ke DPR”. UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2 November 2020, dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi, selanjutnya dikebut lagi dengan “perbaikan” yang cacat secara yuridis itu dengan penetapan Perpu Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022. Kini pada 21 Maret 2023, DPR-RI mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU dan tidak banyak berubah pula secara substansi menunjukkan watak rezim “kolonial” dan “kapitalis” karena tidak melibatkan publik secara bermakna, tidak mendesak juga tetapi dipaksa untuk seolah mendesak, sangat memihak kepentingan “kapital” alih-alih kepentingan kelas pekerja, kemudian prakteknya tidak menghilangkan dan melanggengkan jejak kolonial yang masih tersisa di negeri ini.
UU Ciptaker yang disahkan oleh DPR-RI pada tahun 2023 mencermikan kebijakan kolonialisme Belanda yang eksploitatif. Dengan semangat liberalisasi ekonomi maka kebijakan politik etis muncul, kemudian diturunkanlah produk-produk hukum berupa UU Agraria (Agrarische Wet), kebijakan Koeli Ordonantie di Sumatera Timur dan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran dan dibukanya pendidikan yang menjawab kebutuhan industri gula yang sedang pesat di Hindia Belanda. Kebijakan politik etis yang dimaksudkan sebagai politik balas budi pihak kolonial Belanda terhadap kaum Bumiputera justru mempertajam kesenjangan itu sendiri dengan kepenguasaan kapitalis kolonial setidaknya mencapai 9,47% dari penguasaan keseluruhan tanah di pulau Jawa pada tahun 1939 (Fauzi, 1999). Dampaknya dapat dilihat dengan semakin tergusurnya masyarakat tani dari kepenguasaan tanah dan faktanya konflik agraria masih berlangsung di negeri ini.
Tentu Omnibus Law Ciptaker yang hadir tidak menyelesaikan permasalahan ketimpangan ekonomi yang terjadi dan justru diperparah dengan kehadiran deregulasi tersebut. Dengan tidak banyak berubahnya dari zaman kolonial Belanda yang membawa semangat balas budi dan UU Ciptaker dengan semangat membuka lapangan pekerjaan, yang terjadi justru ketimpangan penguasaan ekonomi semakin meroket. Tidak banyak berubah dari zaman sebelum reformasi dan 25 tahun pasca reformasi dalam menangani ketidakadilan ekonomi hari ini. Dengan populasi tenaga kerja 1% menguasai 28,7% jumlah kekayaan negara pada tahun 1997, kini 1% tenaga kerja pada tahun 2021 setidaknya menguasai sebanyak 37,6 % di Indonesia (Credit Suisse, 2022).
Dengan semangat “etis” tersebut, watak kolonialisme nampak terlihat dilihat dengan tidak dilibatkannya masyarakat luas atau kaum bumiputera dalam rancangan politik etis itu sendiri. Oleh karena itu, UU Ciptaker yang tidak melibatkan masyarakat luas di Indonesia dalam pembentukannya menciptakan relasi kuasa yang tajam sebagaimana ketika politik etis dirancang oleh pihak kolonial Belanda terhadap objek kolonialnya di Indonesia. Dan pemerintah hari ini secara tidak langsung memperlihatkan kembali watak “kolonial”-nya terhadap rakyat Indonesia.
Kemudian pasca pandemi covid-19, keadaan ekonomi global dihantam karena keterbatasan ruang-ruang produktif membuat ekonomi anjlok dan kenaikan angka kemiskinan dari angka 8,5 persen dari total populasi dunia mencapai 9,4% pada tahun 2020 (Sánchez-Páramo, et al., 2021). Langkah-langkah pemerintah yang secara ugal-ugalan mengesahkan UU Ciptaker, mestinya membaca kembali keadaan selama pandemi covid-19 dimana terjadi peningkatan jutawan dalam angka dollar AS meningkat drastis dengan terjadinya peningkatan sebanyak 5,2 juta individu (BBC, 2021). Lalu berbanding terbalik dengan kemiskinan mengalami peningkatan setidaknya mencapai 70,9 juta jika merujuk pada data angka kemiskinan dari World Bank.
Di era pasca pandemi saat ini, di bawah tekanan dan ancaman Midde Income Trap (MIT) atau meningkatnya kelas menengah tetapi menjadi jebakan karena tingginya ongkos pekerja tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan kapital menjadi ancaman bagi perekonomian negara, jika mengutip dari kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di situs kementeriannya (Kemenko Ekonomi, 2020). Tentu solusi untuk mengesahkan UU Ciptaker mereduksi atau mengurangi hak-hak pekerja yang akan dijabarkan dibawah ini, tentu bukanlah langkah yang tepat bagi kesejahteraan pekerja itu sendiri bahkan untuk lepas dari MIT. Belajar dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berhadapan langsung dengan MIT, dimana pada tahun 2015 mengalami penurunan produktivitas sebesar 85%, sedangkan ongkos pekerja semakin naik. Dengan memotong ongkos pekerja tentu tidak menyelesaikan permasalahan penindasan kaum pekerja, tetapi pelajaran dari Tiongkok oleh (Gaulard, 2015) bahwa tantangan mengenai MIT dapat diselesaikan jika permasalahan moda produksi yang bekerja hari ini dapat bekerja lebih adil dan dibawah sistem pasar global yang terus mendorong kompetisi membuat ongkos pekerja murah menjadi kompetisi di ranah ekonomi-politik hari ini. Pemerintah hari ini mesti membaca kembali pembukaan UUD 1945, harusnya mendorong dan menyuarakan keadilan sosial di domain ekonomi-politik global, alih-alih sepenuhnya beradaptasi menggunakan UU Ciptaker dengan sistem yang sekarang.
Selanjutnya, telaah yuridis mengenai UU Ciptaker yang dapat dikatakan “ugal-ugalan” dapat dinyatakan benar. Karena perjalanan deregulasi Cipta Kerja ini telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan MK No. 91/PUU/-XVIII/2020 pada tahun 2021, namun dikebut lagi dengan Perpu No. 2 tahun 2022 tentang Ciptaker. Tentu, hal ini mengkhianati putusan MK dan mengabaikan realitas di lapangan dengan masifnya aksi demonstrasi maupun aksi digital dari masyarakat mengenai deregulasi Ciptaker. Kemudian, UU tentang Ciptaker yang disahkan pada 21 Maret 2023 oleh DPR-RI, telah memperlihatkan corak “rezim” hari ini dengan dimuluskannya Omnibus Law Ciptaker oleh badan legislatif dan eksekutif.
Sejatinya, pembahasan mengenai Cipta Kerja mesti dibicarakan dengan secara karena seluruh regulasi tersebut disatukan (Omnibus Law) sehingga dapat berdampak serius bagi kelas pekerja. Partisipasi kelas pekerja dianggap penting keterlibatannya dalam pengambilan keputusan, tidak melulu soal Ciptaker saja tetapi pengambilan keputusan juga dalam bernegara. Sangat sulit menciptakan kebebasan berpolitik tanpa kebebasan berekonomi bagi kelas pekerja, yang termanifestasi dalam insignifikannya kelas pekerja dalam pengambilan keputusan ekonomi bernegara. Melihat secara kontemporer, kondisi ekonomi-politik baik dalam negeri maupun luar negeri semakin mengarah pada pelemahan partisipasi kelas pekerja dan secara jelas hanya menguntungkan korporasi, terkhusus mengarah pada korporasi internasional apalagi di kasus Indonesia pada tahun 2021 (Rainditya, 2021). Selanjutnya, kita akan membedah dampak Omnibus Law Ciptaker yang merujuk pada Perpu Ciptaker dari keputusan Presiden Jokowi yang disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR-RI.
B. Pasal-pasal pengkhianatan
1. Upah Minimum Dengan berlandaskan pada keutamaan kepentingan pasar dan kemudahan investasi, regulasi upah semakin direduksi dengan disahkannya UU Ciptaker. Diantara pasal tersebut adalah pasal 88b, 88c, 88d, 88e dan 88f dalam bab ketenagerkerjaan. • Sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 b ayat 2 menjelaskan ketentuan untuk mengatur satuan waktu maupun satuan nilai akan diatur ke dalam peraturan pemerintah. Ini bisa berimplikasi pada pelemahan pekerja, karena tidak mengatur secara jelas penetapan satuan tersebut dan di kemudian hari juga sekali lagi tidak melibatkan pekerja didalamnya sebagaimana pengesahan UU ini dilaksanakan. • Lalu, dalam pasal 88c ayat 2, ayat 6 dan ayat 7 sekali lagi menekankan pada peraturan pemerintah untuk menindaklanjuti upah minimun, kemudian mengenai penetapan upah minimun kabupaten/kota menjadi tidak wajib, padahal sebagaimana diketahui kebutuhan pekerja jelas berbeda di tingkatan provinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota dan penghitungan upah minimun di tingkat kabupaten/kota harusnya menjadi wajib untuk ditetapkan. • Selanjutnya, di pasal 88d yang membahas formula penghitungan dengan memperhatikan indeks tertentu menjadi tidak jelas, padahal angka koefisen GINI atau menghitung ketimpangan di Indonesia secara umum mencapai pada angka 37,9 atau ketimpangan ekonomi terukur menengah, sehingga angka GINI di Indonesia mesti disoroti kembali dalam “indeks tertentu” tersebut dan melalui UU Ciptaker, seharusnya berusaha menekan angka ketimpangan secara maksimal. Bahkan dengan penggunaan angka GINI tersebut mesti ditekan tetapi distribusi dan produktifitas ekonomi harus diperjuangkan. Dengan mewujudukan hal tersebut maka arah pembangunan ekonomi akan menuju pada kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. • Terakhir. pada pasal 88f menjelaskan pada kondisi tertentu pemerintah bisa mengatur upah minimum “semaunya”, sehingga kondisi tertentu ini harus diperjelas lagi. Kalau tidak jelas, lalu fungsi regulasi dan pengawasan legislasi tidak memperlihatkan keberpihakannya yang justru memperlihatkan kebobrokan pemerintah. • Kalau hal tersebut kemudian bermuara pada fleksibilitas dalam mengatur upah minimun pekerja, jelas keberpihakan pemerintah hanya mengabdi pada kepentingan pasar semata. Sehingga pemerintah, secara tidak langsung menjamin “penindasan kelas pekerja” alih-alih “melindungi kelas pekerja” didalamnya.
2. Jaminan Sosial Dalam konstitusi UUD 1945 dalam pasal 34 yang dijelaskan soal “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”. Sehingga jaminan sosial dengan memperhatikan martabat manusia menjadi syarat mutlak untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa yang selanjutnya ditetapkan dalam pasal 42 di bagian keempat soal Badan Penyelanggaraan Jaminan Sosial. Di dalamnya yang mengatur nominal untuk BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang masing-masing diatur 2 triliyun rupiah sebagai modal awal menjadi kurang relevan jika diterapkan dalam jangka panjang. Sebagai contoh, penyelanggaraan BPJS Ketenagakerjaan meminta 6 triliyun rupiah sebagai modal awal atau 3 kali lipat dari ketentuan UU Ciptaker . Tentu, penetapan angka 2 triliyun rupiah harus diperhatikan kembali dengan memperhatikan kebutuhan penyelanggara dan masyarakat, yang tentu dibarengi dengan pengawasan jelas. Pembatasan dengan kata “maksimal” menunjukkan batasan pemerintah dalam memberdayakan dan melindungi martabat manusia melalui UU Ciptaker ini.
3. Lingkungan Hidup Dalam lingkungan hidup, UU Ciptaker yang masih membawa semangat dari UU Minerba yang ditetapkan pada tahun 2020 tentu masih menjanggal bagi masyarakat secara umum. Perihal tersebut masih tertuang dalam pasal 38 bagian A soal Energi dan Sumber Daya Mineral. Dengan masih dikriminalisasinya masyarakat yang menolak terhadap pertambangan yang termanifestasi dalam UU Ciptaker pada pasal 162 di bagian Energi dan Sumber Daya Mineral. Juga didalam pasal 128a yang justru memberi hak istimewa bagi pengembangan dan pemanfaatan batu bara dengan insentif atau royalti dikenakan sebesar 0% .
Penting melihat kembali posisi Indonesia dalam ranah ekonomi-politik global. Sebagai negara yang menghasilkan yang menghasilkan material kotor dalam perspektif lingkungan dan masih mewariskan sistem ekonomi kapital pada masa kolonial tidak setara dengan kerusakan lingkungan yang dihasilkan bahkan hingga kepada dampaknya (Magdoff & Foster, 2018). UU Ciptaker justru mempercepat kerusakan lingkungan hidup di Indonesia dengan memperlemah paradigma perspektif lingkungan dibanding dengan regulasi sebelumnya seperti yang tertuang didalam UU No. 32 tahun 2009 yang mengatur tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tercatat masih ada 45 konflik akibat dari tambang dan 69 orang yang dikriminalisasi dengan lebih dari 700 ribu hektar lahan yang dirusak sebagaimana pula dia dirampas, membuat deregulasi ala UU Ciptaker di lingkungan hidup menjadi tidak relevan untuk diadakan . Sebagaimana disebutkan sebelumnya, watak kolonial nampak jelas ketika kuasa Belanda masih bercokol di Indonesia dengan kebijakan politik etisnya melalui Agrarische Wet 1870. Hak Eigendom didalamnya berdampak pada perampasan lahan komunal dan hasilnya adalah pengurangan lahan komunal dari 1,3 juta hektar menjadi 0,89 juta hektar (Asy’ari, 2022). Praktek perusakan dan perampasan lahan adalah cerminan dari kolonialisme dan UU Ciptaker adalah wujud nyata proyek dari kolonialisasi.
4. Perjanjian Kerja Fleksibilitas pasar tenaga kerja tidak hanya berdampak pada upah minimum tenaga kerja yang direduksi tetapi juga pada bagaimana para posisi pekerja dalam menentukan perjanjian kerjanya dengan pihak swasta atau bahkan negeri. Titipan mengenai urgensi fleksibilitas datang dari pihak World Bank dan menganggap bahwa pasar tenaga kerja harus ditingkatkan dari sisi fleksibilitas agar dapat memajukan produktifitas, dimana posisi kelas pekerja semakin rentan.
Hal ini dapat dilihat dalam perjanjian kerja dalam persoalan waktu tidak tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu di pasal 56 tetapi di pasal-pasal selanjutnya tidak membatasi maksimum dari waktu yang tidak menentu tersebut. Hal ini menjadi celah dikarenakan tidak menetapkan batas waktu secara maksimum dan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu sebelumnya menetapkan batas maksimal sebanyak 3 tahun, jika tidak terlalu lama dalam pasal 59 di UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagerjaan tetapi dalam UU Ciptaker diubah juga dalam pasal 59 yang tidak memberi batas waktu. Hal ini kemudian membuat pasar tenaga kerja semakin fleksibel dan ketentuan mengenai jenis pekerjaan, waktu kerja, perlindungan pekerja akan ditentukan dalam peraturan pemerintah. Dari konten hukum yang bersifat fleksibel tersebut, membuat ketidakjelasan dalam melihat posisi pekerja dalam pasar tenaga kerja melalui UU Ciptaker.
5. Cuti Waktu istirahat menjadi hal penting bagi pekerja untuk memulihkan kembali produktifitasnya setelah selesai bekerja. Dalam pasal 79 bagian b, mereduksi persoalan istirahat 2 hari kerja setelah bekerja selama 1 minggu yang sebelumnya ditetapkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjadi rancu dalam UU Ciptaker. Melihat fenomena global, dimana 8 jam kerja sehari yang berlaku dari akhir abad ke-19 menjadi tidak relevan lagi dengan perkembangan teknologi hari ini, bahkan dengan pengurangan jam kerja dari 8 jam menjadi 6 jam kerja dalam seminggu menjadi lebih efektif bahkan jika diterapkan dalam waktu 4 hari saja dalam waktu satu minggu (Carbonaro, 2022). Melihat perihal tersebut, pelaku kebijakan di Indonesia harus mampu memanfaatkan perkembangan zaman yang berorientasikan pada kesejahteraan kelas pekerja alih-alih mengabdi pada kelancaran investasi semata.
6. Outsourcing Pekerjaan Outsourcing atau alih daya semakin marak di tengah ketidakpastian ranah ekonomi-politik global hari ini, terkhusus di Indonesia. Praktek outsourcing bukanlah hal baru dan implementasi secara kasar dan buruk sudah berlaku di negara ini sejak zaman kolonial, dengan pemberlakuan kebijakan kuli di Sumatera Timur ketika kebun-kebun di Deli membutuhkan tenaga kerja secara masif dan murah (Izzati, 2013). Kemudian, praktek Outsourcing menjadi hal yang harus dilindungi demi menjamin investasi, Hal ini nampak dalam perubahan dan penghapusan pasal 64 dan 66 dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di UU Ciptaker. • Di dalam pasal 64 nomor 1 soal ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis”, yang membuat pekerjaan alih daya atau outsourcing semakin dilanggengkan • Kemudian dalam pasal 66 nomor 2 yang menyatakan bahwa “Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurangkurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan alih daya”. Dengan mengundang praktek Outsourcing kini, perlindungan terhadap pekerja hanya sekedar menjadi “tanggungjawab perusahaan alih daya semata”.
Praktek Outsourcing atau pekerjaan alih daya harus dihapuskan di UU Ciptaker karena tidak melindungi tenaga kerja didalamnya. Praktek alih daya tersebut mereduksi pada adanya persamaan kesempatan kerja dan kebermanfaatan ekonomi secara luas di masyarakat. Dan praktek Outsourcing atau alih daya dapat dikatakan sebagai praktek perbudakan moderen hal ini nampak terjadi karena ketidaksamaan hak antara pekerja alih daya dan pekerja yang nilainya sama juga, karena hal itu sesuai logika, mengapa pekerja alih daya dihadirkan kalau bukan untuk memotong ongkos produksi dan melanggengkan kapitalisme global dari aktor perusahaan-perusahaan multinasional yang memasang value chain di negara-negara berkembang (Han, et al., 2022). Pelaku kebijakan baik itu DPR maupun pemerintah wajib untuk melakukan pelarangan terhadap praktek Outsourcing alih-alih melanggengkannya hanya atas nama kelancaran investasi semata.
7. Pendidikan Sebagai suatu sektor strategis untuk memajukan Indonesia, tentu pendidikan merupakan salah satu pilar dalam menjamin pembangunan Indonesia yang adil, sejahtera dan makmur. Sebagaimana dijelaskan melalui UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Urgensi dan arah pendidikan dalam UU Ciptaker seharusnya megarah pada kemandirian dan demokratisasi pada pola pikir masyarakat.
Menyinggung dalam UU Ciptaker, pendidikan justru masuk ke dalam bagian empat soal Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi, dan didalam Pasal 26 huruf k bahwa pendidikan bagian daripada perizinan berusaha. Ini tentu akan menggoyangkan prinsip pendidikan dari yang nirlaba menjadi laba. Dan ini dipertegas lagi di bagian kedua soal Kawasan Ekonomi Khusus yang menjadi pendidikan sebagai suatu kegiatan usaha di pasal 3 ayat 1 huruf e.
Tentu, melihat bahwa ranah pendidikan terjadi ketertautan atau link and match antara pendidikan dan kepentingan industri dapat dilihat dari visi Menteri Pendidikan oleh Nadiem Makarim (Haganta, 2020). Hal ini nampak dengan proses link and match saat ini yang terjadi di pendidikan tinggi, dengan mulusnya PTN-BH dan terlanggengkan dengan kata “perizinan berusaha” dalam UU Ciptaker ini (Fian Indonesia, 2023). Sehingga proses link and match di sektor pendidikan mengarah pada proses kapitalisasi dan mustahil mewujudkan pendidikan yang bersifat nirlaba dibawah UU Ciptaker.
C. Tuntutan-tuntutan Maka dari itu HIMAHI FISIP UNHAS menuntut kepada pemerintah, DPR-RI dan Mahkamah Konstitusi (MK) : 1. Menolak UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 2023 2. Menyatakan UU Cipta Kerja saat ini inkonstitusional secara permanen 3. Mendesak perlibatan seluruh elemen publik secara bermakna 4. Mendesak penyusunan ulang RUU Cipta Kerja yang berorientasikan kepada kepentingan kelas pekerja, kaum tertindas dan berperspektif lingkungan 5. Menolak kategori Pendidikan masuk ke dalam perizinan berusaha 6. Menolak praktek pekerjaan alih daya baik itu dalam bentuk perjanjian kerja tertentu maupun perjanjian kerja tidak tertentu 7. Memberikan cuti kerja yang berbayar 8. Mendesak pemaksimalan 6 jam kerja dalam kurung waktu 4 hari dengan waktu 1 minggu kerja 9. Mendesak pemberlakuan upah minimun pekerja yang berlandaskan usaha untuk menghapus ketimpangan kekayaan 10. Mendorong pemerintah untuk ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial 11. Mencabut seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi 12. Menghentikan liberalisasi di berbagai sektor-sektor strategis.
Daftar Pustaka
Asy’ari, M., 2022. Politik Perampasan Tanah Global di Indonesia. Journal of International and Local Studies, I(1), hal. 24-34. BBC, 2021. Millions become millionaires during Covid pandemic. [Daring] Tersedia di: https://www.bbc.com/news/business-57575077 [Diakses pada 30 March 2023]. Carbonaro, G., 2022. Is the 6-hour workday the answer to a better work-life balance?. [Daring] Tersedia di: https://www.euronews.com/next/2022/07/27/is-the-6-hour-workday-the-answer-to-a-better-work-life-balance [Diakses pada 5 April 2023]. Credit Suisse, 2022. Global Wealth Databook 2022 : Leading perspectives to navigate the future, Zurich: Credit Suisse Research Institute. Fauzi, N., 1999. Petani & Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. 1st ed. Yogyakarta: Diterbitkan atas kerjasama INSIST, KPA, dan Pustaka Pelajar. Fian Indonesia, 2023. Rilis Pernyataan Sikap: PERPPU CIPTA KERJA BATAL DEMI HUKUM, SUDAHI PRAKTIK PEMBANGKANGAN TERHADAP DEMOKRASI DAN KONSTITUSI!. [Daring] Tersedia di: https://fian-indonesia.org/rilis-pernyataan-sikap-perppu-cipta-kerja-batal-demi-hukum-sudahi-praktik-pembangkangan-terhadap-demokrasi-dan-konstitusi/ [Diakses pada 5 April 2023]. Gaulard, M., 2015. A Marxist Approach of the Middle-Income Trap in China. World Review of Political Economy, 6(3), hal. 298-319. Haganta, K., 2020. Pendidikan atau Kepengaturan?: Tinjauan terhadap Visi Link and Match dalam Kerangka Neoliberalisasi Pendidikan di Indonesia. [Daring] Tersedia di: https://bukuprogresif.com/2020/07/23/pendidikan-atau-kepengaturan-tinjauan-terhadap-visi-link-and-match-dalam-kerangka-neoliberalisasi-pendidikan-di-indonesia/ [Diakses pada 5 April 2023]. Han, C., Jia, F., Jiang, M. & Chen, L., 2022. Modern slavery in supply chains: a systematic a literature review. International Journal of Logistics Research and Applications, hal. 1-23. Izzati, F., 2013. Kerja Kontrak & Outsourcing: Warisan Kolonial. [Daring] Tersedia di: https://indoprogress.com/2013/05/kerja-kontrak-outsourcing-warisan-kolonial/ [Diakses pada 5 April 2023]. Kemenko Ekonomi, 2020. [Berita] – Menko Airlangga: UU Cipta Kerja Dorong Produktivitas Tenaga Kerja, Bantu Indonesia Bebas dari Middle Income Trap. [Daring] Tersedia di: https://www.ekon.go.id/info-sektoral/15/193/berita-menko-airlangga-uu-cipta-kerja-dorong-produktivitas-tenaga-kerja-bantu-indonesia-bebas-dari-middle-income-trap [Diakses pada 30 March 2023]. Lumbanrau, R. E., 2021. ‘Di mana ada tambang di situ ada penderitaan dan kerusakan lingkungan’, nelangsa warga dan alam di lingkar tambang. [Daring] Tersedia di: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57346840 [Diakses pada 2 April 2023]. Magdoff, F. & Foster, J. B., 2018. Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. 1st ed. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. Nisaputra, R., 2023. BPJS Ketenagakerjaan Harap Modal Awal JKP Rp6 Triliun Cair Tahun Ini. [Daring] Tersedia di: https://infobanknews.com/bpjs-ketenagakerjaan-harap-modal-awal-jkp-rp6-triliun-cair-tahun-ini/ [Diakses pada 1 April 2023]. Rainditya, D. R., 2021. Capitalist Transformation in Indonesia: The Convergence of Neoliberal and Oligarchic Interest during The Pandemic. Jurnal IndoPROGRESS, I(1), hal. 131-150. Sánchez-Páramo, C. et al., 2021. COVID-19 leaves a legacy of rising poverty and widening inequality. [Daring] Tersedia di: https://blogs.worldbank.org/developmenttalk/covid-19-leaves-legacy-rising-poverty-and-widening-inequality [Diakses pada 30 March 2023]. WALHI, 2021. Menyoal 4 Masalah UU Minerba yang Merugikan Masyarakat Luas. [Daring] Tersedia di: https://www.walhi.or.id/menyoal-4-masalah-uu-minerba-yang-merugikan-masyarakat-luas [Diakses pada 2 April 2023]. World Bank, 2021. Gini index – Indonesia. [Daring] Tersedia di: https://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.GINI?locations=ID [Diakses pada 1 April 2023]. World Bank, 2021. Global Productivity: Trends, Drivers, and Policies. [Daring] Tersedia di: https://www.worldbank.org/en/research/publication/global-productivity [Diakses pada 5 April 2023].