Kiribati: Menunggu Keadilan Iklim atau Menunggu Air Pasang?

Muhammad Fadhel Basri

Latar Belakang

Pada tulisan berikut, mari kita mencoba berkunjung ke sebuah negara di wilayah Oseania bernama Kiribati. Tempat di mana pertama kali matahari terbit setiap harinya. Negara ini menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi karena keeksotisannya. Namun sayangnya, negara indah yang bertetangga dengan Hawai ini tengah dilanda masalah serius. Sejak tahun 1999, negara Kiribati mulai kehilangan pulau-pulau kecilnya satu persatu. Tenggelam dan harus ditinggalkan. Negara kecil yang hanya memiliki titik tertinggi sekitar 81 meter Mdpl ini perlahan terkikis wilayah pantainya akibat erosi yang kian diperparah dengan kontaminasi air tawar berkepanjangan. Pertanyaannya, hal apa yang membuat negara kepulauan dataran rendah ini memiliki daftar panjang kerusakan alam tersebut?

Pertanyaan ini dapat kita jawab lewat perspektif Climate Justice atau Keadilan Iklim. Perlu kita ketahui bahwa usaha industrialisasi yang dilakukan terus-menerus oleh negara maju sebagai upaya mencari keuntungan justru kian merusak lingkungan di planet ini. Terlebih bagi negara-negara yang pada dasarnya memang rentan wilayahnya seperti Kiribati. Kiribati sendiri merupakan salah satu negara termiskin di Pasifik dengan sumber daya alam berbasis lahan yang minim dan sangat bergantung pada bahan bakar fosil impor untuk kebutuhan energi dan transportasi. Melihat dari fakta ini saja, dapat kita simpulkan bahwa Kiribati tidak memiliki kesiapan dalam menangani bencana iklim yang mulai terasa efeknya. Negara-negara Kepulauan Pasifik seperti Kiribati sedang menghadapi tantangan besar terkait perubahan iklim dan pemanasan global karena kerentanan mereka terhadap kenaikan permukaan air laut dan seringnya terjadi bencana alam (van Wegen, 2023).

Kiribati dan Air Laut

Ketika suhu global meningkat, sebagian es di kutub mulai mencair. Saat es mencair, air yang mencair mengalir ke laut, secara bertahap menaikkan permukaan laut (Rising Sea Level | Center for Science Education, n.d.). Hal ini akan berdampak kepada negara-negara yang tidak memiliki dataran tinggi seperti di area Oseania. Pola curah hujan dan kenaikan air laut dapat menyebabkan banjir kemudian limpasan air lumpur ke sumur yang tidak terlindungi sehingga air sumur telah tercemar air yang kotor. Kelangkaan air utamanya di

daerah Tarawa Selatan Kiribati juga diakibatkan oleh peningkatan permukaan air laut yang dapat mengurangi jumlah pasokan air bersih karena adanya kontaminasi air laut. Negara-negara maju tentu tidak akan mengalami kerugian signifikan seperti hal tersebut, karena secara geografis daratan mereka aman serta mempunyai mitigasi bencana iklim yang baik. Disinilah letak ketidakadilan itu terjadi, dimana negara-negara kecil dan terbelakang yang tidak berkontribusi dalam eksploitasi alam berlebihan harus menanggung dosa negara-negara maju dan korporasi raksasa yang menjadi pelaku kerusakan lingkungan tersebut.

Jika melihat dari konteks Hubungan Internasional, kasus Kiribati ini dapat dilihat dari segi politik dan diplomasi. Negara-negara seperti Kiribati harus berinteraksi dengan negara-negara besar dan lembaga internasional untuk mencari solusi terhadap masalah yang mereka hadapi akibat perubahan iklim. Ini mencakup advokasi untuk kepentingan mereka dalam forum internasional seperti Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP), serta negosiasi dengan negara-negara kontributor utama terhadap emisi gas rumah kaca.

Selain itu, dalam kaitannya dengan climate justice, studi ilmu Hubungan Internasional mempertimbangkan ketidaksetaraan dalam kemampuan negara-negara untuk menanggapi dampak perubahan iklim. Negara-negara maju memiliki lebih banyak sumber daya, teknologi, dan infrastruktur untuk mengatasi perubahan iklim, sementara negara-negara seperti Kiribati sering kali memiliki keterbatasan dalam hal ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab bersama dan perlunya bantuan internasional untuk memperkuat kapasitas adaptasi negara-negara yang paling rentan. Dalam kasus Kiribati, dapat dilihat bahwa negara ini merupakan salah satu korban perubahan iklim meskipun kontribusinya dalam emisi gas rumah kaca sangat kecil. Ini menyoroti ketidakadilan intrinsik dalam dampak perubahan iklim, di mana negara-negara kecil dan rentan seperti Kiribati harus menanggung beban yang tidak proporsional akibat kegiatan ekonomi negara-negara maju.

Dengan demikian, melalui perspektif ilmu Hubungan Internasional, kita dapat memahami bagaimana perubahan iklim menjadi isu global yang mempengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan sosial antarnegara. Studi kasus seperti Kiribati memperkuat argumen untuk adanya keadilan iklim yang memperhitungkan perbedaan dalam kontribusi terhadap perubahan iklim dan kemampuan untuk mengatasi dampaknya.

Menimbang Keadilan

Climate Justice menuntut agar negara-negara atau korporat yang menjadi penghasil karbon dengan pendapatan tinggi untuk mengambil tanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang mereka buat. Serta memberi bantuan kepada negara-negara berpendapatan rendah maupun kelompok masyarakat rentan yang menjadi korban perubahan iklim yang paling parah. Seperti transfer teknologi, bantuan keuangan, dan kerja sama internasional untuk memerangi perubahan iklim.

Selanjutnya, Climate Justice juga menaruh perhatian besar terhadap nasib generasi penerus kita mendatang. Adalah sebuah fakta bahwa bumi yang kita tinggali saat ini kelak pasti akan kita wariskan pada anak dan cucu kita nanti. Namun, mewariskan dunia yang tengah sekarat tentu akan menjadi sebuah ketidakadilan bagi generasi mendatang. Bagaimana mungkin kita mengalihkan tanggung jawab kita dalam menjaga lingkungan kepada generasi berikutnya. Serta membiarkan mereka menanggung dampak perubahan iklim yang merupakan dosa orang tua dan kakek-nenek mereka. Secara garis besar, Climate Justice tidak hanya fokus pada persoalan kerusakan lingkungan dan upaya mengatasinya saja, tapi juga menyorot tentang hak asasi manusia yang terancam akibat perubahan iklim. Seperti hak atas air bersih, makanan, tempat tinggal yang layak, dan kehidupan yang aman Karena bagaimanapun, perubahan iklim akan berdampak pada semua lapisan masyarakat, tua atau muda, kaya atau miskin semuanya akan menanggung imbas dari perubahan lingkungan yang terjadi saat ini. Termasuk generasi kita berikutnya.

References

Rising Sea Level | Center for Science Education. (n.d.). UCAR Center for Science Education. Retrieved February 28, 2024, from https://scied.ucar.edu/learning-zone/climate-change-impacts/rising-sea-level

Van Wegen, W. (2023, March 14). Navigating climate change: Kiribati’s efforts to address sea-level rise. Hydro International. Retrieved February 28, 2024, fromhttps://www.hydro-international.com/content/article/navigatingclimate-change-kiribati-s-efforts-to-address-sea-level-rise

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *