Willow Project: Menyelamatkan Lingkungan atau Minyak?

Muhammad Isnainil Asgar

Latar Belakang

Dapat dikatakan bahwa salah satu kemajuan umat manusia dalam sejarah adalah Revolusi Industri yang membuat manusia mampu memproduksi berbagai jenis barang untuk memenuhi kebutuhan dalam skala besar dengan memanfaatkan mesin dan teknologi terkait. Hal ini juga memberikan kemungkinan bahwa negara kecil dapat mengalahkan negara besar dalam konflik militer karena minyak merupakan sumber energi yang penting bagi dunia modern mulai dari industri, transportasi hingga pembangkit listrik yang masih bergantung pada minyak bumi. Oleh karena itu, banyak negara yang berlomba-lomba mendapatkan minyak bumi baik dengan cara mengeruk tanah negaranya yang mempunyai potensi kandungan minyak bumi untuk dijadikan penghasil minyak bumi, maupun dengan cara mengekspor pasokan minyak bumi tersebut. Jika negara tersebut tidak mempunyai minyak bumi, maka jalan satu-satunya adalah mengimpor dari negara lain.

Saat ini, berdasarkan laporan data Energy Institute, Amerika Serikat menempati posisi pertama mengalahkan Arab Saudi sebagai produsen minyak bumi terbesar di dunia dengan volume produksi 17,7 juta barel per hari. Kemudian posisi kedua ditempati oleh Arab Saudi dengan volume produksi sebesar 12,13 juta barel per hari (Putri, 2023). Dominasi Amerika Serikat terhadap minyak bumi di dunia internasional tidak lepas dari kontribusi Willow Project yang telah dicekik di Alaska.

Willow Project dan Lingkungan

Status quo saat ini, dunia internasional sedang berusaha untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan nasional suatu negara dengan nilai-nilai moral universal (Universalisme Nasionalis). Usaha ini cenderung mencapai titik buntu karena beberapa negara sukar menemukan keserasian antara National Interest dengan nilai – nilai moral universal (Morgenthau, 1948). Dalam hal ini, studi kasus yang diangkat yakni Willow Project menjadi wujud dari National Interest Amerika Serikat yang kontras dengan nilai-nilai moral universal dalam menjaga lingkungan. Pada 2023 kemarin tepatnya di bulan Maret, dunia maya khususnya X dihebohkan dengan perbincangan mengenai salah satu proyek besar milik Amerika Serikat yang bernama Willow Project. Dengan bantuan hashtag #StopWillow di X, upaya ini menjadi populer. Willow Project adalah inisiatif besar Amerika Serikat yang dirancang untuk meningkatkan standar hidup di desa-desa di Alaska. Perekonomian kawasan ini pasti akan memperoleh keuntungan besar dari proyek ini, yang diperkirakan akan menghasilkan lebih dari 600 juta barel minyak. Akan tetapi Willow Project menuai banyak kritik dari komunitas internasional meskipun sangat bermanfaat secara ekonomi. Sebab, kehadiran Willow Project akan memberikan dampak yang luar biasa. Bukan bagi Alaska dan sekitarnya saja, tetapi juga bagi bumi, dimana ketika es dan gletser di Alaska terus mencair, dapat menyebabkan mega-tsunami dan kiamat kecil (Amanda, Azalia, & Berliana, 2023).

Tidak hanya itu, Willow Project juga menghancurkan habitat spesies asli dan mengubah pola migrasi hewan yang hidup di sana, mengancam keberadaan spesies tertentu, merusak ekosistem, dan mempercepat pemanasan global berkali-kali lipat lebih. Willow Project akan menghasilkan minyak yang dapat melepaskan 9,2 juta metrik ton polusi karbon yang dapat memperburuk pemanasan global di bumi setiap tahunnya (Putri, 2023). Ketidakadilan akan kontribusi pada pemanasan global inilah yang mengakibatkan efek merugikan secara masif di hampir semua negara. Dari sinilah muncul konsep Climate Justice, yang bertujuan untuk memastikan bahwa dampak perubahan iklim dan tindakan mitigasi iklim didistribusikan secara adil di seluruh masyarakat global.

Urgensi Climate Justice

Climate Justice adalah isu yang mendesak karena perubahan iklim memiliki dampak yang tidak merata dan tidak adil bagi seluruh populasi dunia. Ketidakadilan ini terlihat dari berbagai sudut, seperti antar-generasi, antar-negara, dan antar-kelompok sosial. Pertama, generasi masa depan yang tidak berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim akan mewarisi dampaknya, seperti cuaca ekstrem, krisis pangan, dan konflik atas sumber daya. Kedua, negara-negara yang paling sedikit menyumbang emisi gas rumah kaca seringkali menjadi korban terbesar dari dampak perubahan iklim, sementara negara-negara yang paling banyak menyumbang tidak selalu merasakan dampak yang sama. Ketiga, kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin, dan minoritas sering kali paling terdampak dan memiliki akses terbatas terhadap sumber daya dan dukungan.

Climate Justice mendorong upaya kolaboratif dan inklusif untuk mengurangi emisi, menyesuaikan diri dengan dampak yang sudah ada, dan memastikan bahwa respons terhadap perubahan iklim adil bagi semua pihak, menjaga keseimbangan ekologi dan keadilan sosial di dunia ini. Kata Joe Biden dalam konferensi pers di Hanoi, Vietnam, seperti dikutip laman resmi Gedung Putih, Minggu (10/9/2023), “Satu-satunya ancaman nyata yang dihadapi umat manusia bahkan lebih menakutkan ketimbang perang nuklir adalah pemanasan global, yang akan melebihi 1,5 derajat dalam 20-30 tahun ke depan. Itu akan menjadi masalah besar. Tidak ada jalan kembali dari masalah itu”. Maka dari itu, Climate Justice perlu untuk terus dikampanyekan sembari menjaga lingkungan agar tetap bisa dinikmati oleh semua masyarakat global dan generasi yang akan datang. Namun sungguh ironis, melihat para pemimpin dunia berbicara tentang keadilan iklim sambil duduk di atas gunung karbon yang mereka bangun.

References

Amanda, S., Azalia, G., & Berliana, Y. (2023). Willow Project dan Potensi Dampaknya dalam Lingkup Internasional. Jurnal Panorama Hukum, 24-37.

Morgenthau, H. J. (1948). Politic Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: McGraww-Hill.

Putri, A. V. (2023). Legal Perspective on Implications of the Willow Project Ratification. Communale Journal, 169-178.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *