Logika adalah proses dan produk

Pada tanggal 22 November 2024, HIMAHI FISIP UH mengadakan diskusi dasar dengan judul ‘Daily Dose of Logics : Logika Sebagai Praktik Keseharian’ dengan tujuan untuk membawa kita lebih dekat dengan praktik Logika Berpikir yang kita lakukan sehari-hari. Diskusi terkait topik ini menjadi penting, karena dalam berdialektika di dalam kelas, dalam berorganisasi dan bahkan dalam menjalani aktivitas keseharian, Logika menjadi aspek yang tidak lepas dari diri kita. Oleh karenanya, artikel ini juga dibuat dengan tujuan agar teman-teman yang mungkin belum sempat menghadiri diskusi, juga tetap mendapatkan bahan bacaan untuk menambah pemahaman bersama. 

Berpikir menggunakan logika merupakan suatu proses di mana kita mengelola suatu informasi yang didapatkan melalui ‘cara berpikir benar’ atau akalh sehat, agar tidak terdapat kesalahpahaman yang berkelanjutan. Maka sebelum memahami dan menjalankan logika berpikir dalam kehidupan sehari-hari perlu untuk kita memahami definisi dari logika terlebih dahulu. Logika berasal dari kosakata bahasa latin yaitu ‘Logos’ yang artinya adalah perkataan atau sabda. Selain logos kata serapan lainnya adalah ‘Mantiq’ yang berasal dari bahasa Arab yaitu ‘Nataqa’ yang memiliki arti berkata atau berucap. Oleh karenanya, secara bahasa logika dapat diartikan sebagai ilmu berkata atau ilmu berpikir benar yang menghadirkan kebenaran sebagai syarat yang mendasari suatu tindakan untuk mencapai nilai yang hendak disampaikan dalam perbuatan. 

Dengan hadirnya logika kita dapat menggunakannya sebagai alat untuk memverifikasi pengetahuan yang telah kita klaim benar karena didapatkan dengan cara yang valid. Dengan memetakan cara-cara yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan dari premis-premis yang telah diterima. Lantas, bagaimanakah cara yang tepat untuk menarik suatu kesimpulan menggunakan logika? Dalam melakukan penarikan kesimpulan, kita dapat menggunakan cara berpikir sistematis yang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. 

Proses penarikan kesimpulan : Deduktif dan Induktif

Apa itu penalaran deduktif dan induktif?

Penalaran deduktif merupakan penalaran dengan proses penarikan kesimpulan berdasarkan pada premis-premis umum yang telah diketahui dan menarik kesimpulan yang spesifik. Jika premisnya benar dan hubungan antar premis valid maka kesimpulannya pasti benar. Sedangkan penalaran induktif merupakan penalaran yang di mana proses penarikan kesimpulannya dimulai dengan pengamatan atau data spesifik dan kemudian menggeneralisasikannya untuk mencapai kesimpulan yang lebih umum. Penalaran induktif tidak memberikan kepastian, tetapi hanya probabilitas atau tingkat kemungkinan yang lebih besar terhadap suatu kesimpulan. 

Perbedaan di antara keduanya juga terletak pada sistematika berpikir, di mana deduktif memiliki sumber informasi berdasarkan aturan atau prinsip umum yang telah menjadi pemahaman umum. Hal ini membuat pola berpikir deduktif datang dari umum ke khusus berdasarkan data empiris. Sebaliknya dengan penalaran induktif, sumber informasi didasarkan pada data empiris atau observasi, sehingga pola berpikirnya dari khusus ke umum. 

Contohnya adalah seperti berikut:

  • Penarikan kesimpulan Deduktif

Premis Utama: Semua manusia adalah makhluk hidup

Premis minor: Aristoteles adalah seorang manusia

Maka kesimpulannya: Aristoteles adalah makhluk hidup

  • Penarikan kesimpulan Induktif

Observasi pertama: Pada hari Senin di pukul 18.00 WITA jalan persimpangan lampu merah di depan Unhas macet.

Observasi kedua: Pada hari Selasa di pukul 18.00 WITA jalan persimpangan lampu merah di depan Unhas macet.

Observasi ketiga: Pada hari Senin di pukul 18.00 WITA jalan persimpangan lampu merah di depan Unhas macet.

Maka kesimpulannya: Kemungkinan besar jalan persimpangan lampu merah di depan unhas akan macet setiap pukul 18.00 WITA. 

Pada penalaran induktif, kesimpulan yang ditarik mungkin saja benar atau salah, tetapi semakin banyak data yang mendukung pola tersebut maka semakin kuat dan lebih tepat kesimpulannya. Jika kita telah mengetahui bagaimana pengambilan keputusan yang baik berdasarkan prosesnya maka kita dapat menghindari kesalahan berpikir atau fallacy of thinking.

Hindari Kesalahan Berpikir!

Dalam praktik kehidupan sehari-hari kita bisa saja tanpa sengaja melakukan fallacy of thinking. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Seperti yang diketahui bahwa fallacy of thinking ini merujuk pada pola pikir yang tidak logis atau cacat dalam berargumen yang menyebabkan kesimpulan yang tidak valid atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ada dua macam kesalahan berpikir yaitu kesalahan berpikir formal dan informal. Macam-macam  contoh kesalahan berpikir formal adalah:

1.   Fallacy of illicit process adalah kesalahan logika yang terjadi ketika ada hubungan yang tidak sah antara premis dan kesimpulan dalam sebuah argumen silogisme. Hal ini akan terjadi ketika kesimpulan membuat klaim yang lebih luas daripada yang dibenarkan oleh premis, contohnya:

Premis 1: Semua burung adalah hewan.

Premis 2: Semua burung bisa terbang.

Kesimpulan: Semua hewan bisa terbang.
→ Kesalahan di sini adalah penggunaan “hewan” secara tidak sah.

2.  Fallacy of inconsistency adalah kesalahan logika yang terjadi ketika sebuah argumen mengandung pernyataan yang saling bertentangan, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam argumen seperti ini premis-premis yang diberikan tidak dapat semuanya benar secara bersamaan. Contohnya dalam suatu argumen yang beda tetapi konteksnya sama:

Pernyataan 1: Teknologi sangat membantu kita menghemat waktu.

Pernyataan 2 : Teknologi membuat kita kehilangan banyak waktu.

→ Pernyataan ini tidak konsisten karena memberikan argumen yang saling bertolak belakang tanpa penjelasan kontekstual.

Sedangkan macam-macam kesalahan berpikir non-formal adalah:

1.  Fallacy of hasty generalization adalah kesalahan logika yang terjadi ketika seseorang menarik kesimpulan umum berdasarkan bukti yang terlalu sedikit, tidak memadai, atau tidak representatif. Contohnya sering sekali terjadi pada kehidupan sehari-hari, jika kalian pernah mendengar pernyataan bahwa “semua laki-laki itu sama saja”, hal ini adalah contoh fallacy of thinking di mana terjadi generalisasi terhadap individu-individu tertentu dan hanya didasarkan pada pengalaman pribadi tanpa data yang valid. 

2.  Fallacy of abusing biasanya merujuk pada bentuk kesalahan logika yang menyerang lawan debat secara personal daripada menangani argumen yang sedang disampaikan. Hal ini sering terjadi jika kita sedang berada dalam suatu debat mengenai suatu hal. Adakalanya seseorang akan mengalihkan pembicaraan ke suatu hal yang tidak relevan dengan debat hanya karena mereka tidak bisa membalikkan argumen yang diterimanya, hal ini biasanya bersifat personal dan tidak berhubungan sama sekali dengan pembicaraan. 

Dengan memahami kembali proses berpikir secara logis, kita memahami bahwa logika menjadi unsur yang penting dalam kehidupan akademik maupun non-akademik. Dengannya kita dapat berpikir secara sistematis dan terhindar dari kesalahan dalam berpikir. Terima kasih sudah membaca sampai sini!

Referensi

 Drs. H. Mundiri, 2015, Logika, Jakarta, Rajawali Pers.

George F. Kneller, 1966, Logic and Language of Education, New York.

Irving M. Copi, 1978, Introduction to Logics, New York, Macmillan Publishing Co.

Kusbandrijo, B, 2019, Dasar-dasar logika, Prenada Media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *