Penulis : Puteri Tiens Ferianno
(Re-upload, First Published September 30th 2024)
Latar Belakang
Pembicaraan tentang kasus kekerasan terutama yang dialami oleh kaum perempuan merupakan pembahasan yang perlu direvitalisasi. Melihat kondisi saat ini di mana kasus kekerasan dan pelecehan menjadi bahan sorotan media, tentunya menimbulkan pertanyaan mengapa hal ini bisa terus terjadi dan kenapa mayoritas korban adalah perempuan? Jawaban dari pertanyaan itulah yang coba diuraikan melalui diskusi buku berjudul “Perempuan Di Titik Nol” yang ditulis oleh Nawal el – Saadawi.
Diskusi ini dilaksanakan pada Jumat, 20 September 2024 di Perpustakaan Katakerja dan diorganisir oleh Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin, Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, dan tim7 Sekolah Angkasa. Kegiatan ini menghadirkan tiga panelis, Valen Intanulsitta selaku anggota Himahi FISIP UH, Sobirin selaku anggota Komite Anti Kekerasan Seksual UH, dan Aleroy dari Sekolah Angkasa. Inisiatif untuk mengulas buku terjemahan ini muncul sebagai upaya menghidupkan ruang beropini yang aman dan membuka kesadaran terhadap kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Alur Cerita Perempuan di Titik Nol mengajak kita untuk ‘Melihat Budaya Patriarki dan Konstruksi Gender dalam Perspektif Feminisme HI‘
Buku berjudul “Perempuan Di Titik Nol” berkisah tentang kehidupan seorang terpidana wanita bernama Firdaus, ditulis berdasarkan kisah nyata seorang dokter yang tidak lain adalah penulisnya sendiri, Nawal el – Saadawi. Kisah ini berlatar di Kairo, ibu kota Mesir yang secara geografis terletak di Afrika Utara, namun dalam aspek kebudayaannya lebih dekat dengan adat dan kebudayaan khas Timur Tengah yang kental dengan sistem patriarki.
Firdaus sejak kecil hidup dalam lingkungan keluarga yang memperlihatkan praktik budaya patriarki. Walaupun tidak tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan edukasi yang baik, Firdaus merupakan anak yang cerdas karena senang membaca buku. Singkat cerita, Firdaus kemudian dijodohkan paksa dengan seorang laki-laki tua kaya raya. Karena mengalami kehidupan pernikahan yang buruk, Firdaus kabur dari rumah dan akhirnya mulai terjerumus ke dalam dunia prostitusi. Firdaus merasakan kemerdekaan atas kebebasan dirinya dan pilihan dalam hidupnya. Bebas memilih pelanggan, bebas menentukan harga, bebas melakukan apapun menggunakan uang yang ia dapatkan dengan menjadi pekerja seks komersial (PSK). Firdaus menganggap dirinya lebih terhormat daripada mereka yang takut kehilangan gaji daripada nilai kebebasannya.
Klimaks cerita diperlihatkan ketika Firdaus mulai mengalami krisis kepercayaan terhadap cinta karena tubuhnya hanya dihargai oleh alat tukar yang bisa membeli kebutuhan hidupnya. Firdaus merasa kemerdekaan yang ia ciptakan hanyalah kebebasan semu dan meyakini bahwa perempuan adalah mahkluk yang paling mudah diperdaya. Menurut Firdaus, cinta dan perkawinan adalah ruang untuk memperalat Perempuan dengan statusnya sebagai istri. Ia yang tidak pernah merasakan ketulusan akhirnya menjadi sangat marah karena terus-terusan dipaksa oleh germo yang mempekerjakannya. Akumulasi kemarahan membawa Firdaus pada tindakan penikaman yang ia lakukan kepada si germo hingga akhirnya Firdaus harus berakhir di penjara.
Dalam perspektif hubungan internasional yang dijelaskan Valen, konsep feminism dapat digunakan untuk menganalisis kisah “Perempuan Di Titik Nol” melalui pendekatan konstruksi gender di wilayah tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dalam elemen masyarakat setempat seperti kebudayaan, agama atau kepercayaan, sejarah, dan juga pengaruh politik. Dari segi kepercayaan, kisah ini berlatarkan budaya di Timur Tengah sebagai negara dengan mayoritas muslim. Konstruksi nilai yang disalahartikan dengan tameng agama menjadi doktrin pembenaran atas tindakan kekerasan terhadap perempuan kemudian menempatkan posisi perempuan pada derajat yang lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan atas hak-hak perempuan. Feminisme kemudian muncul dan disebarluaskan di seluruh dunia untuk menentang ketidaksetaraan dan ketidakadilan, dengan sastra sebagai salah satu metodenya sehingga buku “Perempuan di Titik Nol” dapat hadir dalam diskusi di Katakerja.
Menganalisis kisah buku “Perempuan Di Titik Nol” melalui kajian Komite Anti Kekerasan Seksual
Sobirin menjelaskan kaum perempuan menjadi korban yang paling umum dalam kasus kekerasan, baik itu kekerasan fisik, kekerasan dalam pernikahan, bahkan dalam lingkungan keluarga. Hak dan kebebasan perempuan yang dirampas menjadi bukti ketidaksetaraan status sosial antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Fakta bahwa hal ini masih terus terjadi secara berulang menunjukkan bahwa tidak ada ruang yang benar-benar aman untuk perempuan. Kekerasan berbasis gender sudah terjadi sejak waktu yang lama dan semakin marak disuarakan di masa sekarang karena berkembangnya akses media sosial.
Di tengah massifnya pemberitaan, media sosial masih dianggap belum efektif dalam upaya pemberian informasi yang tepat karena seringkali justru menyorot informasi pribadi si penyintas yang seharusnya mendapat perlindungan dibandingkan identitas pelaku yang seharusnya bukan hanya mendapat sanksi hukum, tetapi juga sanksi sosial. Hal ini dapat mengindikasikan ketidakberpihakan media terhadap keamanan si penyintas. Sementara itu, efek psikologis yang dirasakan penyintas bukan hanya berasal dari trauma atas kekerasan yang dialaminya, melainkan juga dari penyebaran informasi pribadi oleh pihak media yang dapat menimbulkan kecemasan dan rasa tidak aman serta berujung pada tindakan menarik diri dari lingkungan sosial. Contoh dari gangguan psikologis yang tergambar dalam buku “Perempuan Di Titik Nol” adalah amarah yang berakhir kepasrahan Firdaus.
Perlu digarisbawahi bahwa kekerasan dan pelecehan dapat terjadi oleh dan kepada siapa saja, baik itu perempuan maupun laki-laki, juga dapat terjadi di mana saja. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana respon masyarakat sebagai upaya menghentikan kasus yang terus terjadi ini dan apa sanksi yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku? Berkaca pada realita saat ini, isu kekerasan seksual masih belum menemukan solusi dan jawaban atas pertanyaan tersebut sehingga masih memerlukan tindak lanjut yang tegas serta peran masyarakat dalam membangun kesadaran sedini mungkin.
Korelasi substansi penulis melalui tulisannya dalam pendekatan Ekonomi Politik
Dalam bukunya yang berjudul “Perempuan Di Titik Nol”, sang penulis, Nawal el – Saadawi memberikan gambaran dengan sangat jelas tentang ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat patriarkal. Hal ini dideskripsikan melalui penggambaran eksploitasi kelas dan gender, dimana perempuan (dalam hal ini adalah si tokoh utama, Firdaus) dihadapkan pada struktur sosial yang mendiskriminasi dan menindas mereka. Dalam sistem ini, perempuan dipaksa untuk tunduk pada aturan yang dibuat oleh lingkungannya, yang pada akhirnya memperparah marginalisasi mereka.
Aleroy menyampaikan pandangannya bahwa struktur sosial yang memberikan label pada perempuan sebagai golongan kedua atau dibawah prioritas laki-laki, bisa hadir bahkan dalam lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Di sisi lain, perempuan yang melabeli dirinya sebagai perempuan yang “merdeka” dalam menentukan kebebasannya, juga masih terdesak oleh tuntutan atas pemenuhan kebutuhan hidup materil seperti apa yang dialami Firdaus.
Pada kenyataannya, hal ini dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang latar belakang orang, tempat, dan waktu. Fenomena ini selalu termanifestasi dalam bentuk yang berbeda-beda. Seorang PSK dan penyewa layanannya, seorang atasan dan bawahan di tempat kerja, seorang dosen dan mahasiswa, bahkan bisa jadi orang tua dan anaknya. Latar belakang individu yang terpelajar dengan kesempatan pendidikan yang lebih baik seperti mahasiswa maupun tempat seorang individu berasal tidak menjamin sisi kemanusiaan seseorang. Di beberapa wilayah, pemikiran masyarakat yang masih skeptis terhadap penyintas kasus kekerasan dan pelecehan juga menjadi tantangan yang perlu untuk diselesaikan. Gerakan feminisme yang berusaha dinormalisasi masih disepelekan dan dipandang sebagai lelucon belaka karena dianggap tidak sesuai dengan nilai yang tertanam di masyarakat sejak dulu kala. Hal ini mengindikasikan bagaimana kajian dan diskusi feminisme yang berusaha dihadirkan dan mungkin untuk sebagian dari kita yang familiar dengan konsep ini merupakan suatu pengetahuan umum, ternyata belum menyentuh masyarakat akar rumput dan masih membutuhkan strategi lebih lanjut.