Nadila Dinar Sadi
Dalam dunia global saat ini manusia memiliki kecenderungan berpikir yang makin luas mengenai cara pandang mereka terhadap banyak hal yang konvensional. Hadir klaim bahwa telah terjadi kemajuan pada pola pikir pada zaman ini utamanya dalam kesempatan akses pendidikan dan teknologi, klaim ini dapat kita tarik dalam melihat pentingnya representasi Perempuan dalam Hubungan Internasional dan semakin besarnya potensi yang dimiliki perempuan untuk mengambil peran penting di dalamnya. Dalam beberapa dekade terakhir, peran Perempuan dalam HI telah mengalami transformasi yang signifikan dari yang awalnya berada pada posisi pendukung menjadi aktor utama dalam berdiskusi mengenai tata kelola internasional. Saat ini, organisasi di bawah sayap PBB seperti WTO, UNICEF dan UNCTAD telah dipimpin oleh representasi Perempuan, sayangnya PBB sendiri belum pernah dipimpin oleh seorang Perempuan. Dalam melihat fenomena keterlibatan perempuan dalam HI, pendekatan yang dapat digunakan ialah feminisme dalam studi HI yang menyoroti bagaimana perspektif gender tidak hanya memperkaya analisis kekuatan dan konflik, tetapi mempengaruhi pelaksanaan kebijakan luar negeri dan membangun perdamaian.
Banyaknya resolusi internasional yang dikeluarkan mengenai Instrumen-instrumen hukum internasional seperti CEDAW (1979) dan Platform Aksi Beijing (1995) membentuk fondasi normatif dalam upaya melawan diskriminasi gender serta memperluas akses perempuan ke ranah politik, ekonomi, dan perlindungan hukum. Selanjutnya dilakukan revolusi melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 di tahun 2000 dan resolusi lanjutan seperti 1820, 1888 dan 1889 yang merumuskan empat pilar utama partisipasi, perlindungan, pencegahan serta bantuan dan pemulihan dalam konteks konflik dan perdamaian. Untuk menjembatani norma-norma tersebut lebih dari 100 negara telah mengembangkan National Action Plans (NAP) sejak 2005. Hal ini mencakup instrumen perencanaan, anggaran, indikator, serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang semakin terintegrasi dengan agenda pembangunan nasional. Keberadaan NAP turut mendorong reformasi institusi keamanan dan peningkatan perwakilan perempuan dalam struktur pengambilan keputusan.
Bukti nyata bahwa sistem internasional kini menegaskan perempuan bukan lagi sekadar penerima manfaat, melainkan agen aktif yang berpartisipasi dalam pembuatan agenda perdamaian dan keamanan global. Partisipasi Perempuan dalam proses perdamaian terbukti meningkatkan keberlanjutan akan kesepakatan damai. Tokoh seperti Madeleine Albright yang menjabat sebagai menteri luar negeri Perempuan pertama di AS menjadikan isu Perempuan sebagai inti dari kebijakan luar negeri AS. Di India sendiri terdapat Kolonel Sofiya Qureshi menjadi pemimpin briefing militer penting. Hal ini menjadikan perspektif serata kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Perempuan bahkan dalam sektor pertahanan semakin meningkat. Meningkatnya kontribusi perempuan dalam agenda perdamaian dan politik global yang selama ini sarat akan konstruksi gender bahwa ia merupakan ruang bagi laki-laki, menimbulkan dampak terhadap perspektif masyarakat dunia atas kesetaraan gender. Semakin banyak Perempuan yang terlibat dalam proses perdamaian telah meningkatkan durabilitas kesepakatan perdamaian bertahan selama 35% lebih lama dibanding perjanjian yang hanya melibatkan laki-laki.
Namun, meskipun ada kemajuan terhadap peran Perempuan di dalam HI, nyatanya masih banyak pihak pemerintahan negara yang mengabaikan resolusi-resolusi yang telah dipaparkan sebelumnya, termasuk Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 yang menyerukan partisipasi setara antara Perempuan dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Dengan adanya hambatan struktural yang terjadi dan kurangnya akses ke posisi pengambilan keputusan membuat peran mereka masih dibilang terbatas dan belum benar-benar bebas. Organisasi seperti UN Women menyerukan perubahan radikal untuk memastikan inklusivitas bagi Perempuan dalam berbagai aspek proses perdamaian dan keamanan. Walaupun regulasi tersebut telah tersedia, memahami penerapan secara substansial tetap perlu dipastikan, karena seperti statement sebelumnya, tidak semua negara telah mengamini penerapan resolusi tersebut.
Dari dalam negeri, jika ingin mengambil studi kasus mengenai peran Perempuan dalam HI, kita dapat mengambil salah satu kasus yang terjadi di Indonesia. Sejak 2014, Indonesia resmi menetapkan Perpres No. 18/2014 atau yang lebih dikenal sebagai RAN P3A‑KS sebagai kerangka nasional untuk menerapkan agenda Women, Peace & Security (WPS). Meskipun dokumen ini tidak langsung menyebut UNSCR 1325 sebagai dasar hukum RAN ini jelas kokoh karena merujuk pada CEDAW dan UU Penanganan Konflik Sosial.
RAN terdiri atas tiga program utama yaitu, pencegahan, pemulihan pemberdayaan dan partisipasi dengan tujuan memperkuat perlindungan perempuan dan anak dalam konflik sosial dari reformasi kebijakan hingga penguatan kapasitas peran perempuan di forum-forum perdamaian lokal. Pada level daerah, Aceh jadi contoh menarik. Penelitian yang dilakukan oleh Ocktaviana & Kamaruzzaman menunjukkan bahwa meskipun Aceh termasuk lima daerah terlibat RAN yang juga melibatkan Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Tengah, tetapi masih ada hambatan struktural dan budaya yang menghalangi perempuan ikut bernegosiasi pasca konflik. Misalnya, keterlibatan perempuan GAM dan tokoh seperti Shadia Marhaban yang secara langsung hadir dalam negosiasi damai Finlandia dan kemudian memimpin LINA untuk memberdayakan kombatan Perempuan menunjukkan bahwa adanya aktor kuat, namun masih terhambat oleh dominasi struktur militer dan sosial lokal.
Selain itu, penerapan RAN P3A‑KS juga tercermin dalam konteks pengungsi internal dan luar negeri. Menurut pernyataan Komnas Perempuan pada tanggal 5 Nov 2024, perempuan pengungsi termasuk ibu tunggal sering menghadapi kekerasan seksual, keterbatasan akses pelayanan kesehatan reproduksi serta tekanan ekonomi dan mental akibat pengungsian yang panjang.
Meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, RAN telah menjadi dasar hukum nasional melalui UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan platform pemberdayaan yang diharapkan mengakomodasi kenyataan rentan ini. Dari perspektif implementasi, studi dalam skripsi di UPN Veteran Jakarta (2021) menunjukkan bahwa di era pemerintahan Jokowi komitmen Indonesia terhadap WPS menghasilkan reputasi global positif dengan peningkatan partisipasi perempuan dalam operasi perdamaian PBB dan peningkatan penghormatan terhadap peran perempuan dalam pemulihan konflik. Namun, penulis juga mencatat hambatan utama berupa pendanaan terbatas, kapasitas institusional yang belum optimal dan perlunya integrasi gender dalam kebijakan sektoral serta monitoring yang lebih konsisten. Komitmen yang ditunjukkan pemerintah pun masih perlu dipertanyakan inklusifitasnya, apakah ia telah menyentuh perempuan dalam masyarakat akar rumput untuk memahami posisi dirinya dan semangat pemberdayaan yang sudah seharusnya ia dapatkan? apakah kebudayaan yang sifatnya patriarkal telah dapat direduksi dan mempertimbangkan dampaknya bagi perempuan?
Secara keseluruhan, kesetaraan gender bukan hanya soal keadilan—tapi juga pondasi penting buat membangun masyarakat yang damai, berkelanjutan, dan kuat. Ketika perempuan diberdayakan lewat akses pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan ruang pengambilan keputusan, masyarakat secara keseluruhan menikmati manfaat yang nyata dari peningkatan pertumbuhan, pengurangan kemiskinan, hingga solidaritas sosial. Lebih lanjut lagi kehadiran perempuan di ruang diplomasi dan negosiasi konflik terbukti memperkuat kualitas perjanjian serta memperpanjang masa damai. Studi menunjukkan perjanjian yang melibatkan perempuan 35% lebih tahan lama. Secara ilmiah data ini membuktikan partisipasi perempuan yang tidak dapat dipisahkan dalam penyelesaian konflik, berwawasan inklusif, dan bertahan lama. Meski telah jauh berkembang perjuangan masih berlanjut. Laporan UN (Maret 2025) menyatakan bahwa hak perempuan masih terancam seputar kekerasan gender yang naik, kesenjangan hukum masih besar dan diskriminasi struktural belum sepenuhnya hilang. Ini artinya upaya ini belum selesai, justru perlu ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bellamy, A. J. (2014, March 13). When WPS met CEDAW and broke up with R2P. E-International Relations. https://www.e-ir.info/2014/03/13/when-wps-met-cedaw-and-broke-up-with-r2p/
India Times. (2024, February 28). Meet Col Sofiya Qureshi, Indian Army officer who led Operation Sindoor briefing after India attacked Pakistan terror bases. https://www.indiatimes.com/trending/meet-col-sofiya-qureshi-indian-army-officer-who-led-operation-sindoor-briefing-after-india-attacked-pakistan-terror-bases-658395.html
Komnas Perempuan. (2023, October 31). Siaran pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tentang peringatan Resolusi Umum PBB tentang Women, Peace & Security 1325. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komisi-nasional-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-tentang-peringatan-resolusi-umum-pbb-tentang-women-peace-security-1325
Lederer, E. M. (2022, March 8). Women largely excluded from peace talks despite U.N. goals. AP News. https://apnews.com/article/women-peace-negotiations-sexual-violence-exclusion-bb4583012fd18c7b2231e270d12a69ec
Ocktaviana, S., & Kamaruzzaman, S. (2021). Examining Women, Peace, and Security Agenda in Aceh, Indonesia (Menelaah Agenda Perempuan, Damai dan Keamanan di Aceh). Jurnal Masyarakat dan Budaya, 23(2), 129–130 https://www.researchgate.net/publication/360642618
PeaceWomen. (n.d.). National Action Plans (NAPs) on Women, Peace and Security (UNSCR 1325). Women’s International League for Peace and Freedom. https://1325naps.peacewomen.org/
Remnick, D. (2022, March 23). Madeleine Albright was the first most powerful woman in U.S. history. The New Yorker. https://www.newyorker.com/news/postscript/madeleine-albright-was-the-first-most-powerful-woman-in-us-history
Syahputri, I. (2022). Implementasi Resolusi DK PBB 1325 dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Perempuan dan Perdamaian di Indonesia [Undergraduate thesis, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta]. UPNVJ Repository. https://repository.upnvj.ac.id/13736/
Transnational Institute. (2022, June 16). Indonesian implementation of UNSCR 1325: Adapting to the national context. https://wpp.tni.org/news/indonesian-implementation-of-unscr-1325-adapting-to-the-national-context/index.html
United Nations Development Programme. (2023). Parliaments as partners: Supporting the Women, Peace and Security Agenda – A global handbook (pp. 5–10). UNDP. https://www.undp.org/sites/g/files/zskgke326/files/publications/Parliament_as_partners_supporting_the_Women_Peace_and_Security_Agenda_-_A_Global_Handbook.pdf
UN Women. (2015). Preventing conflict, transforming justice, securing the peace: A global study on the implementation of United Nations Security Council Resolution 1325. https://wps.unwomen.org/pdf/en/GlobalStudy_EN_Web.pdf
Wahyuni, S. P., & Darmawan, D. (2023). Implementasi Resolusi DK PBB No. 1325 tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan dalam konteks nasional Indonesia. Jurnal Ilmu Wawasan dan Penelitian, 4(2), 101–116. https://jurnal.peneliti.net/index.php/JIWP/article/view/6498