Muh. Raka Abdillah Korompot

Dari negeri yang konon menjunjung tinggi kecerdasan bangsa, universitas yang dahulu dikenal sebagai menara gading perlahan berubah menjadi menara dagang, tempat ilmu bukan lagi jalan menuju pencerahan, tetapi komoditas mahal yang diperjualbelikan dalam kemasan “kualitas global”. Transformasi ini salah satunya diwujudkan dalam bentuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Status kelembagaan yang dilabeli “otonomi” tapi beroperasi dengan semangat korporatisme.

Secara legal-formal, PTN BH dibentuk untuk memberi keleluasaan bagi perguruan tinggi negeri dalam mengatur urusan akademik, keuangan, dan kelembagaan tanpa bergantung penuh pada negara. Di atas kertas, ini terdengar progresif. Namun dalam praktiknya, otonomi ini justru menjadi jalan masuk ideologi neoliberalisme ke jantung pendidikan tinggi nasional. Maka tidak mengherankan bila mahasiswa hari ini lebih sering berbicara soal UKT dan branding kampus Internasional.

Dalam kacamata Hubungan Internasional, fenomena PTN BH bisa dibaca sebagai bagian dari arus globalisasi pendidikan yang penuh ambiguitas. Di satu sisi, PTN BH didorong untuk “naik kelas” menjadi pemain global dalam halnya menjalin kerja sama internasional, berpartisipasi dalam pemeringkatan dunia, dan menarik mahasiswa asing. Di sisi lain, mereka dituntut untuk tetap relevan dan terjangkau oleh rakyat Indonesia. Namun idealisme itu segera terkubur oleh logika pasar, di mana kampus yang harus mencari uang sendiri dan mahasiswa lokal adalah sasaran empuk.

Mengingat kembali salah satu teori hubungan internasional, neoliberalisme melihat pendidikan tinggi sebagai pasar yang efisien dan rasional. Negara cukup berperan sebagai regulator, bukan penyedia. Inilah yang tampaknya dijalankan PTN BH, yakni menjadikan pendidikan sebagai investasi, bukan hak. Akibatnya, Universitas tidak lagi berfungsi sebagai institusi publik yang mencetak warga negara kritis, melainkan korporasi akademik yang menjual ijazah dengan embel-embel “akreditasi internasional”. Apalagi ketika internasionalisasi dijadikan alasan untuk menaikkan biaya. Katanya, demi fasilitas setara Harvard, maka harga pun harus “menyesuaikan”. Tentu saja, penyesuaian ini tidak berlaku bagi negara yang harus mengurangi subsidi, tetapi intervensi tetap tinggi. Negara menyerahkan tanggung jawab keuangan ke kampus, kampus menyerahkannya ke mahasiswa, dan mahasiswa hanya bisa menyerah.

Tak hanya itu, PTN BH juga sering dijadikan sebagai instrumen soft power Indonesia. Diharapkan mampu menjadi alat diplomasi budaya, menarik mahasiswa asing, dan menciptakan jejaring intelektual global. Tapi dalam praktiknya, yang lebih sering terjadi adalah kampus sibuk mengejar akreditasi asing sembari membiarkan kurikulum terperangkap dalam orientasi pasar. Soft power berubah menjadi “soft market”. Di mana relasi internasional bukan soal pertukaran pengetahuan, tetapi promosi jual beli program studi.

Kita perlu bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh PTN BH? Apakah mahasiswa asing yang datang hanya untuk memenuhi kuota internasionalisme? Ataukah para elite kampus yang kini berperan ganda sebagai akademisi sekaligus CEO?

Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ketergantungan epistemik. Kita belajar dari teori yang dibuat di barat, diterapkan di Indonesia, dan diakui hanya jika disetujui oleh indeks asing. Ini bukan sekedar masalah akademik, tapi juga masalah kedaulatan. Bagaimana mungkin bangsa merdeka jika kampusnya tunduk pada standar luar?

Sungguh ironis, ketika kampus yang dahulu menjadi pusat perlawanan terhadap penindasan kini berubah menjadi institusi yang menindas melalui bentuk kemajuan, bukan kendaraan komersialisasi. Sayangnya, dengan semangat globalisasi yang dijadikan tanpa kehati-hatian, otonomi kampus justru menjadi kedok untuk membebaskan negara dari tanggung jawab dan membiarkan pasar mengambil alih.

Pendidikan tinggi adalah medan strategis dalam hubungan internasional untuk membentuk identitas bangsa, memperkuat diplomasi, dan menjaga kedaulatan. Jika PTN BH terus bergerak dalam kerangka pasar tanpa kritik, maka kita bukan sedang memajukan pendidikan, melainkan mengundang dominasi baru dalam bentuk komodifikasi ilmu. Sudah saatnya menagih kembali tanggung jawab negara terhadap pendidikan tinggi. Bukan sekedar soal biaya, tapi arah, visi, dan nilai. Sebab jika universitas hanya menjadi perpanjangan tangan pasar global, maka kita telah gagal menjadikan kampus sebagai benteng kedaulatan intelektual bangsa.

Referensi

Isabela, M. (2022, Juni 9). Apa itu Neoliberalisme? Retrieved from Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2022/06/09/02000071/apa-itu-neoliberalisme-

Pareva, M. (2024, April 12). Menyorot Komersialisasi Pendidikan Di Indonesia. Retrieved from Kumparan: https://kumparan.com/muhammad-zidane-pareva/menyorot-komersialisasi-pendidikan-di-indonesia-22WnHlndVBk/2

Sipayung, R. (2022, Oktober 30). Pendidikan; Soft Power yang tak Diseriusi Indonesia. Retrieved from Ampar: https://ampar.id/pendidikan-soft-power-yang-tak-diseriusi-indonesia/

Yuliati, N. (2024). Dampak Komersialisasi Pendidikan Terhadap Kesenjangan Sosial . kariman, 61-74.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *