Thamara Nur Salsabila

Mengapa pada setiap 1 Mei, perlu mengorganisir diri untuk bergabung ke jalan?

 Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa setiap hari adalah waktu untuk melawan dengan keberpihakan dalam keseharian.

Hari Buruh, atau May Day yang diperingati setiap tanggal 1 Mei, tidak hanya merupakan peringatan biasa tetapi sebagai simbol perjuangan dan perlawanan serta solidaritas buruh di dunia. Perjuangan yang dimulai dengan Kerusuhan Haymarket di Chicago, Amerika Serikat pada Mei 1886 di mana buruh menuntut pemberlakuan 8 jam kerja. Tuntutan tersebut kemudian dipenuhi oleh pemerintah AS pada tahun 1890. Kerusuhan Haymarket memantik reaksi internasional, maka pada pelaksanaan Kongres Internasional Kedua di Paris pada tahun 1889, tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional untuk menghormati perjuangan yang telah diberikan para buruh dalam menuntut hak sebagai pekerja. Spirit Hari Buruh atau May Day terus berlanjut dengan upaya menentang upah yang tak layak, pelanggaran hak pekerja hingga minimnya perlindungan ketenagakerjaan yang dipicu oleh arus globalisasi dan neoliberalisme. Menguatnya pasar bebas di dunia menimbulkan perasaan was-was negara sehingga diambil kebijakan untuk menerapkan deregulasi, privatisasi, dan fleksibilitas pasar kerja. Nampaknya memang merupakan sebuah kesempatan bagi negara tapi faktanya hal ini malah menggusur jaminan sosial. 

Di Indonesia sendiri pasca-reformasi, struktur ekonomi dan pasar tenaga kerja semakin terbawa dalam arus mekanisme pasar global yang membuka pintu investasi namun menggerus regulasi tenaga kerja yang adil. Omnibus Law Cipta Kerja tahun 2020 salah satu contohnya. Kebijakan yang dirancang untuk menyederhanakan regulasi investasi malah mendapat kecaman besar karena berpotensi merusak hak-hak pekerja dengan pengurangan uang pesangon, perluasan outsourcing dan penghapusan aturan upah sektoral. Akhirnya terjadi protes besar-besaran, mengundang ribuan orang berkumpul menuntut pencabutan undang-undang, kenaikan upah dan pembatasan outsourcing. Hal ini ditanggapi oleh Menteri Ketenagakerjaan dengan dekrit Hubungan Industrial berlandaskan pancasila, penegasan terhadap penolakan upah murah dan PHK sepihak. Tekanan global yang menuntut fleksibilitas ekonomi dan buruh lokal yang menuntut stabilitas sosial dan kesejahteraan jangka panjang menjadi tantangan besar. 

Globalisasi, Neoliberalisme, dan Gerakan Kelas Pekerja

Globalisasi dalam Hubungan Internasional tidak hanya menggambarkan semakin memudarnya batas-batas negara tetapi juga terjadinya ketergantungan yang semakin dalam antara pasar, negara dan aliran modal. Integrasi ekonomi yang didukung oleh liberalisme perdagangan, deregulasi, dan investasi lintas batas yang diperluas memungkinkan modal bergerak bebas, perusahaan merelokasi produksi untuk mencari biaya yang lebih rendah. Laporan PBS SoCal memperlihatkan bagaimana pergeseran ini telah menciptakan rantai nilai global yang terfragmentasi, membongkar struktur serikat pekerja tradisional dan memberi perusahaan kekuatan untuk mengelola tenaga kerja secara global.

Neo-liberalisme yang merupakan kebaruan dari liberalisme, semakin memperkuat eksistensi pasar bebas. Dalam praktiknya, Neo-liberalisme membuka jalan dalam pelaksanaan intervensi negara yang minimal, privatisasi, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja yang kemudian mendorong menjamurnya outsourcing, pekerja berbasis kontrak, dasar pengupahan yang diregulasi, dan melemahnya serikat pekerja yang membuat posisi pekerja dalam status mayday terutama negara berkembang seperti Indonesia. Kebijakan dari Neo-liberalisme ini mengurangi regulasi dan kesejahteraan, mendorong pemerintah untuk menjual aset publik dan memperkecil perlindungan sosial. Penghapusan dan pengurangan regulasi untuk memudahkan praktik ekonomi tertentu, menghukum hak-hak buruh dan memperkuat lapangan kerja informal.

Teori Kritis melihat masalah ini mencerminkan ketidaksetaraan terstruktur yang tertanam dalam kapitalisme global. Apabila melihat dari kacamata Marxis yang merupakan antitesa utama liberal dan produk kapitalismenya, Marx berpendapat bahwa lembaga ekonomi internasional dan elit global mempertahankan sistem yang mendukung kekuasaan hierarki. Hubungan Internasional melalui lensa ini menyoroti bagaimana negara yang berada pada puncak hierarki ekonomi melaksanakan eksploitasi tenaga kerja secara terstruktur. Oleh karenanya, kelas pekerja melalui protes-protesnya muncul tidak hanya sebagai economic responses tapi adalah upaya perlawanan menentang politik global kapitalis yang mereproduksi ketidaksetaraan struktural. 

Dalam konteks Indonesia: Neoliberalisme dan Kebijakan Ketenagakerjaan

Sejak masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia telah menganut liberalisme ekonomi, membuatnya berintegrasi lebih dalam dengan lembaga-lembaga global seperti IMF, World Bank, dan WTO. Strategi deregulasi dan promosi ekspor menarik investasi asing namun juga mengalihkan daya tawar dari tenaga kerja karena pasar domestik terbuka untuk persaingan internasional. Seperti bagaimana mekanisme penetapan upah didesentralisasi setelah tahun 2000 yang mengalihkan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk menarik investasi, tetapi sering kali mengakibatkan stagnansi upah di tengah meningkatnya biaya hidup.

Undang-undang Omnibus Law 2020 menunjukkan ciri khas Neo-liberalisme seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Tujuannya baik, namun kecaman muncul karena substansinya yang tidak berpihak pada para pekerja.  Kebijakan-kebijakannya mengurangi uang pesangon dan memperpanjang penggunaan tenaga kerja kontrak, menghapus upah minimum sektoral, membatasi daya tawar bersama, dan potensi pembalikan kenaikan upah minimum regional.  Model Neo-liberalisme Indonesia berputar dalam 3 aspek. Negara mempromosikan investasi, perusahaan mencari tenaga kerja yang murah dan fleksibel melalui outsourcing dan subkontrak, pekerja seringkali memiliki kekuatan negosiasi yang lemah. Indonesia telah menjadi simpul utama dalam rantai nilai global terutama di bidang manufaktur elektronik, garmen, dan ekspor minyak sawit. Meskipun menciptakan lapangan kerja, hal ini tetap memberikan dampak buruk bagi para pekerja di mana mereka terpapar tuntutan modal global untuk efisiensi biaya, sementara aspirasi lokal untuk mata pencaharian yang layak terus berbenturan dengan tekanan persaingan.

C. Aksi May Day Indonesia 2012-2022

Protes May Day dari tahun 2012-2022 mencerminkan perlawanan kelas pekerja terhadap globalisasi Neo-liberalisme. Tindakan berkelanjutan mengungkap bagaimana ketegangan antara pengejar keuntungan modal global melalui tenaga kerja yang fleksibel dan langkah-langkah pemotongan biaya dan aspirasi lokal untuk pekerjaan stabil, upah yang adil dan keadilan sosial. Pekerja secara konsisten menggunakan demonstrasi jalanan, kampanye media dan aliansi lintas sektor seperti dengan pendidik, petani, dan kelompok mahasiswa yang memfokuskan tuntutan pada upah yang adil, pekerjaan yang aman, dan perlawanan terhadap Neo-liberalisme. Serikat pekerja nasional seperti Koalisi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Koalisi Serikat Buruh Indonesia (KSBI) seringkali memimpin upaya koordinasi, bekerja dengan sekutu internasional dan berinteraksi dengan International Labor Organization (ILO) untuk menyoroti pelanggaran standar ketenagakerjaan global. Hubungan transnasional ini memperkuat protes Indonesia, menempatkan isu-isu lokal dalam wacana hak-hak buruh global. Meskipun koordinasi dengan berbagai pihak dapat memaksimalkan advokasi isu, tetapi penting pula untuk teliti dalam melihat kepentingan politik yang  berusaha menyusup dalam gerak menuntut hak buruh, dengan kesadaran ini kita dapat memaksimalkan upaya terbebas dari intervensi yang justru melemahkan gerakan. Di bawah Neo-liberalisme, pemerintah seringkali menampakkan tindakan yang menggabungkan kriminalisasi dan marginalisasi dengan hadirnya tindakan represif aparat dalam aksi demonstrasi, dengan alasan ketertiban umum. Laporan mendokumentasikan kelebihan, kekuatan dan hambatan untuk berkumpul secara damai. Pihak berwenang juga meluncurkan kampanye media yang membingkai pengunjuk rasa sebagai pengganggu.

Protes May Day di Indonesia dari tahun ke tahun mengungkap lebih dari sekedar ketidakpuasan buruh, tetapi merupakan bentuk perlawanan terhadap ketimpangan struktural yang diperkuat oleh globalisasi dan Neo-liberalisme. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia bukan hanya urusan dalam negeri tetapi sangat terikat dengan dinamika internasional. Dengan demikian, perjuangan buruh di Indonesia menggemakan perlawanan yang lebih luas dalam ekonomi politik global, di mana kelas pekerja sering menanggung beban deregulasi dan mobilitas modal. Dan makin hari, tantangan semakin besar. Serikat buruh menghadapi pelemahan kelembagaan sementara modal transnasional terus memberikan pengaruh dominan atas pembuatan kebijakan nasional.

Apakah ada harapan?  Hanya jika pengorganisiran tidak pernah dihentikan. Kesinambungan aksi May Day menandakan ketangguhan gerakan buruh. Membangun solidaritas global yang kuat melewati lintas batas dalam agenda keadilan sosial dan hak asasi manusia merupakan langkah penting ke depan. May Day  bukan hanya sebuah protes, ini adalah seruan untuk dunia yang lebih adil dalam memerangi ketidaksetaraan global.

REFERENSI

BBC. (2020, Oktober 8). Indonesia: Thousands protest against ‘omnibus law’ on jobs. Retrieved from BBC: https://www.bbc.com/news/world-asia-54460090 

Farias, M. (2018, Februari 18). Introducing Critical Theory in International Relations. Retrieved from E-Internasopnal Relations: https://www.e-ir.info/2018/02/18/introducing-critical-theory-in-international-relations 

Guardian, T. (2025, May 2). May Day: protesters rally across US over workers’ and immigrants’ rights. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/us-news/2025/may/01/may-day-protests 

Guzel, M. (2024, May 2). Pro-Palestinian banners. Blazing Olympic rings. Workers’ May Day rallies confront turbulent times. Retrieved from AP News: https://apnews.com/article/may-day-rallies-labor-rights-workers-economy-0c8605802cb451061eeb71f83bdef5fa  

Joassart, P. (2019, Januari 17). Neoliberalism, Globalization, and the Magnification of the Informal Economy. Retrieved from PBSSoCal: https://www.pbssocal.org/shows/city-rising/neoliberalism-globalization-and-the-magnification-of-the-informal-economy 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *