Eghi Algipari

Kapitalisme Hijau: Penyelamat atau Bencana?

Kapitalisme Hijau (Green Capitalism) adalah pendekatan dalam sistem kapitalisme yang berusaha mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam model bisnis dan praktik ekonomi. Inti dari kapitalisme hijau adalah upaya menjembatani tujuan kapitalisme yakni pencapaian keuntungan dan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan seperti penggunaan teknologi ramah lingkungan, efisiensi energi, pengurangan emisi karbon, serta praktik daur ulang dan pengurangan limbah dalam rantai produksi. 

“Namun, apakah ini sesuai dengan tujuannya? penyelamat atau justru bencana? ”

Kapitalisme Hijau datang dengan tujuan yang brilian, agar industri yang sebelumnya memberikan limbah produksi yang mencemari lingkungan dan produk yang tidak ramah lingkungan, beralih kepada solusi energi terbarukan, pengurangan limbah produksi, hingga penggunaan teknologi ramah lingkungan. Contoh penerapannya ialah produksi mobil listrik serta wadah makan berulang. Namun, pada kenyataannya, solusi yang dihadirkan tidak selaras dengan tujuan berkelanjutan tersebut dan malah hanya memberikan solusi semu, tidak menyelesaikan akar permasalahan. 

“Bukannya itu merupakan solusi mengurangi pencemaran lingkungan dan penggunaan produk sekali pakai?” 

Meskipun Kapitalisme Hijau tampak sebagai solusi bijak terhadap krisis lingkungan, kenyataannya pendekatan ini sering kali hanya memperindah wajah sistem yang tetap eksploitatif. Upaya seperti memasarkan mobil listrik, produk daur ulang, atau penggunaan tumbler memang terdengar bijak, namun tetap berada dalam kerangka konsumsi massal yang tak terkendali. Alih-alih mengurangi produksi dan eksploitasi sumber daya alam, kapitalisme hijau justru menciptakan pasar baru yang tetap mengejar pertumbuhan dan keuntungan tanpa memikirkan dampak struktural jangka panjang. Dengan kata lain, ia hanya mengganti bentuk konsumsi lama dengan wajah “ramah lingkungan” yang palsu, tanpa menyentuh akar permasalahan seperti budaya konsumsi berlebih, ketimpangan global dalam produksi, serta ketergantungan sistem ekonomi terhadap eksploitasi alam. Maka, tindakan yang tampak bijak ini justru menjadi solusi semu yang melanggengkan krisis ekologis dengan kedok keberlanjutan. Kebutuhan negara-negara adidaya untuk memproduksi mobil listrik berdampak pada tingginya demand akan nikel, maka negara-negara Global South yang menjadi surga nikel, adalah sasaran utama pengerukan. 

Contoh nyata dari kontradiksi Kapitalisme Hijau di Indonesia tampak jelas dalam ekspansi besar-besaran tambang nikel yang tersebar di berbagai wilayah seperti Kepulauan Obi di Halmahera Selatan, Morowali di Sulawesi Tengah, hingga kawasan yang sangat sensitif secara ekologis seperti Raja Ampat di Papua Barat. Di Kepulauan Obi, tambang nikel yang diekspor untuk kebutuhan baterai mobil listrik justru mengakibatkan pencemaran laut yang parah, merusak ekosistem pesisir yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat lokal, serta mengganggu aktivitas nelayan tradisional. Lebih jauh lagi, di Morowali-yang kini dijuluki sebagai ibu kota nikel Indonesia-pembangunan kawasan Industri nikel menyebabkan berbagai krisis lingkungan: polusi udara akibat smelter, limbah yang mencemari sungai dan tanah, serta deforestasi yang merusak keanekaragaman hayati. Banyak masyarakat adat kehilangan tanah ulayatnya karena tergusur oleh proyek-proyek industri atas nama “transisi energi hijau”.

Sementara itu, Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah dengan biodiversitas laut tertinggi di dunia, tak luput dari ancaman tambang. Izin eksplorasi tambang sempat diberikan kepada perusahaan, meskipun wilayah ini memiliki status konservasi dan menjadi andalan ekowisata berbasis masyarakat. Hal ini menandakan bahwa orientasi ekonomi tetap lebih diutamakan ketimbang perlindungan lingkungan, bahkan dalam kawasan yang secara hukum dan nilai ekologis seharusnya dilindungi. Di balik narasi transisi menuju energi bersih dan pembangunan berkelanjutan, yang terjadi justru eksploitasi sumber daya alam dalam skala masif dan pengabaian hak-hak masyarakat adat. Maka, alih-alih menyelesaikan krisis iklim, proyek-proyek Kapitalisme Hijau ini justru menciptakan krisis ekologis dan sosial baru, di mana label “ramah lingkungan digunakan sebagai alat legitimasi perusakan lingkungan atas nama pertumbuhan ekonomi global.

Selain eksploitasi tambang untuk mobil listrik, budaya konsumsi tumbler juga mencerminkan ilusi keberlanjutan dalam Kapitalisme Hijau. Tumbler awalnya dipromosikan sebagai alternatif bijak terhadap botol plastik sekali pakai, dengan semangat mengurangi sampah dan konsumsi berlebih. Namun, dalam prakteknya, banyak perusahaan dan merek justru menjadikan tumbler sebagai komoditas konsumsi baru. Setiap bulan, muncul edisi terbatas dengan desain menarik, warna baru, atau kolaborasi eksklusif yang mendorong konsumen untuk terus membeli meskipun sudah memiliki beberapa tumbler sebelumnya. Budaya ini menjebak konsumen dalam siklus “green consumerism”-sebuah bentuk konsumerisme yang dibungkus kesadaran lingkungan palsu. Akibatnya, masalah mendasar yakni over produksi dan overkonsumsi tidak diselesaikan, hanya diganti bentuknya. Bahkan produksi massal tumbler sendiri tetap membutuhkan energi, bahan baku seperti stainless steel atau plastik tahan panas, dan proses distribusi global yang menyumbang jejak karbon.

Alih-alih menumbuhkan kesadaran kolektif untuk hidup lebih sederhana dan bertanggung jawab terhadap alam, konsumsi tumbler justru mengalihkan perhatian dari perubahan sistemik ke aksi-aksi simbolik individual. Konsumen merasa sudah “berkontribusi” hanya karena membawa tumbler, padahal mereka tetap menjadi bagian dari sistem konsumsi tak berkesudahan yang melanggengkan logika kapitalisme. Fenomena ini menunjukkan bahwa Kapitalisme Hijau sering kali bukan tentang menyelesaikan krisis iklim atau memperbaiki hubungan manusia dengan alam, melainkan tentang menciptakan pasar baru yang tetap berorientasi pada pertumbuhan dan keuntungan, meski dengan wajah yang lebih “ramah lingkungan”.

Kapitalisme Hijau tidak benar-benar menawarkan solusi terhadap krisis ekologis, melainkan hanya mengubah wajah eksploitasi menjadi tampak lebih “berkelanjutan”. Di balik narasi transisi energi bersih dan konsumsi ramah lingkungan, tetap tersembunyi praktik eksploitatif seperti kerusakan lingkungan akibat tambang nikel dan budaya konsumsi semu seperti tren tumbler. Alih-alih menyentuh akar persoalan seperti ketimpangan, over produksi, dan sistem ekonomi yang rakus akan pertumbuhan, Kapitalisme Hijau justru memperpanjang masalah dengan membungkusnya dalam kemasan hijau yang menyesatkan. Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar inovasi teknologi hijau, tapi perubahan sistemik yang menempatkan keadilan ekologis dan sosial sebagai fondasi utama.

Referensi 

Mongabay Indonesia. (2024, October 2). Dampak polusi di kawasan industri nikel Morowali.https://mongabay.co.id/2024/10/02/dampak-polusi-di-kawasan-industri-nikel-morowali/?utm

Mongabay Indonesia. (2024, July 31). Nasib nelayan Maluku Utara kala teluk tercemar limbah nikel.

Mongabay Indonesia. (2025, June 8). Tambang nikel Raja Ampat: Kerusakan tak bakal pulih.https://mongabay.co.id/2025/06/08/tambang-nikel-raja-ampat-kerusakan-tak-bakal-pulih/?utm

Rahayu, R. (n.d.). Green Capitalism: Solusi atau ilusi? Universitas Andalas.

https://www.unand.ac.id/berita/opini/961-unand-opini-dosen-green-capitalism

The Jakarta Post. (2019, June 19). Rethinking our zero-waste consumerism.

https://www.thejakartapost.com/life/2019/06/19/rethinking-our-zero-waste-consumerism.html?utm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *